Sunday, December 16, 2007

Dirajam Sunyi

Dirajam Sunyi

Sudahlah; ringkas saja segala mimpimu

tuk kau kemas sebagai kenangan di liang lahad!

Siapa pula mengajarku bermimpi? tanyamu curiga

karena tak berani menyalahkan diri sendiri.

Kau masih saja mempercakapkan burung-burung

yang hinggap di jendela kamarmu;

kau mendengarnya bernyanyi-nyanyi

lalu kau pun menerjemahkannya sebagai

ungkapan mesra dari kekasihmu

Aduhai...sungguh kasihan dirimu

yang selalu merasa sendiri

dan mengkhayalkan siapa saja

perempuan yang kautemui sebagai kekasihmu

Pernah juga hampir kau gapai khayalmu

ketika suatu ketika kau bertemu dengannya;

perempuan wangi melati

Sayang, kau lihat belati di ketiak perempuan itu

dan kau mengundurkan diri secara diam-diam

mau apa lagi selain mengutuk diri sendiri?

Tidak pernah lelah kau berlari

sambil menunjuk sesuatu yang kau lihat di depanmu

sebagai entah yang akan kau raih

dan kau pun marah; mengambil paku dan pecahan kaca

lalu kau tancapkan di matamu hingga darah merah

yang amis mengaliri wajahmu

mata ini yang menipuku teriakmu dan orang-orang

yang lalu-lalang di sekitarmu menuduhmu gila

karena melihatmu mengunyah bola mata sendiri

Kini; kau pun mengaku menyerah

lalu rebah dan meminta orang-orang terdekatmu

pergi menjauh mengirimkan lempengan-lempengan

batu tajam; sunyi yang selalu menari di kepalamu

untuk kau rajamkan di jantungmu

Sambil mengingat nama-nama gadis

yang pernah kau buat menangis

kau ambil batu pertama lalu

kau hunjamkan di ulu hatimu

dan lidahmu kelu menyebut nama Tuhan

yang kau tuduh telah lama bunuh diri

Kairo 2 Juni 2006

Aku Pun Mendoakan Pernikahanmu

Saat kau melangsungkan pernikahanmu

Kau masih bertanya tentang diriku

Demikianlah perihal yang kutahu

Duhai demikian syahdu kau senandungkan cinta kita

Tolong sebagai kenang saja segala air mata

Sebab sebuah entah masih harus kutelusuri

Sebab sebuah langkah mesti harus kujalani

Hapus air matamu karena sejarah menulis dirinya sendiri

Aku tahu kau gemetar mencium pundak tangan suamimu

Kau cari wujudku; aku gentar dengan semua tulus kasihmu

Bisikku ketika pertama kali kita bersama di bilik bulan purnama

Kita saling mengikat pada teka-teki: cinta, masa,

Dan hidup yang tak pernah terduga.

Kairo 21 Mei 2006

Detik Ini

Detik ini tiba-tiba

kuingin menyebut namamu

tapi aku tak tahu

dari mana memulainya

Detik ini tiba-tiba

kuingin menyebut namamu

tapi aku tak mengerti

apa ini masih berarti

Alif Laam Miim

Alif Laam Miim

Ya Allah, Tuhanku

Gantung jiwaku agar tegak seperkasa Alif-Mu

Raih tanganku untuk menari, membawakan suguhan

Cinta rindu redam, zikir membasah di lidahku

Agar aku lupa cara bersumpah-serapah

Karena gersang bumi

dan kutub utara yang lebur mendatangkan tsunami.

Ya Allah, Tuhanku

Banjiri pikirku dengan bandang dan badai

keagungan-Mu melalui ayat-ayat alam,

Lapis-lapis langit yang senantiasa bertasbih

Meneteskan hujan dan embun air mata

Matahari-Mu yang gagah perkasa

Memanggang badanku yang kurus-kerempeng

Agar aku ingat panas neraka yang tak terbayang.

Tuhanku, jadikan Lam-Mu

Api yang membakar hutan belukar maksiatku

Lantas Kau datangkan sampan Nuh

Yang menyeberangkan ruh-ku

Menuju dermaga pengampunan-Mu,

Aku rindu saat Kau tiupkan ruh ke dalam jasadku

Dan Kau bertanya, “Bukankah aku adalah Tuhanmu?”

Aku menjawab, “Benar. Aku bersaksi, Kau adalah Tuhanku.”

Lalu ketika aku mampir ke sepetak bumi ini

Kutuhankan uang, kutuhankan pemilihan umum,

Kutuhankan partai politik, kutuhankan kursi presiden,

Kutuhankan juga setan iblis dan nafsuku.

Datangkan air dari telaga alkautsar-Mu,

Basuhlah hatiku agar tulus mengakui tauhid-Mu

Kau Yang Esa, Kau Yang Satu,

Kau Yang Raja di atas segala raja

Kaulah Tuhanku!

Bukan uang, bukan pemilihan umum,

Bukan partai politik, bukan kusri presiden,

Bukan setan iblis, bukan pula nafsuku!

Basuhlah, ya Allah...

Mim-Mu adalah cahaya maha cahaya

Kau datangkan lentera di pekat gelap

jalanku menuju rumah sunyi

tapi Kau menggamitku ke rumah-Mu yang ramai

“Di sini, di Mekah ini, Ibrahim dan Ismail

mendirikan pancang tiang bendera

agar kamu sadar, harus dibawa kemana

hatimu berwisata,” tegurMu ketika kulihat

seorang laki-laki berjubah putih membaca

awal al-Baqarah di depan Ka’bah

“Alif Laam Miim. Inilah kitab al-Quran

yang tiada keraguan di dalamnya,

sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”

Aku melihat langit terbuka,

dan jibril membawa serta doaku ke sana.

Ibrahim, Ismail, dan Seekor Kambing*

I

Ibrahim terjaga dari tidurnya ketika langit

menghidangkan bulan sabit

“Semalam aku bermimpi yang itu lagi,” bisiknya

sambil menatap Ismail dengan iba

Ketika matahari terjaga, Ibrahim menghampiri

Ismail dan berkata, “Anakku, aku melihat

dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu,

pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”

Ismail menjawab, “Ayahanda, kerjakanlah

apa yang Allah titah, apa yang Allah perintah,

Pada-Nya aku berserah,

Pada-Nya aku menyerah.”

II

Ayah dan anak itu bergegas pergi menuju Allah,

malaikat membentangkan sayapnya,

gemuruh tasbih dari lidah semesta,

bersaksi tentang Ismail yang akan disembelih.

Gersang sahara membakar mereka,

Iblis datang membawa aroma neraka,

“Hahaha, apa yang kau lakukan hai orang gila?”

Ibrahim dan Ismail memungut tujuh batu kerikil,

“Bismillahi Allahu akbar! Bismillahi Allahu akbar!

Dengan nama Allah yang Maha Besar!

Enyahlah kau makhluk terkutuk!”

III

Aku menyaksikan Ibrahim menengadah

dan Ismail pasrah menyerah

kudengar mereka berdoa

“Ya Allah, kami telah memenuhi panggilan-Mu.”

Ketika pisau yang menyala itu diletakkan

di leher Ismail, air mata melaut di pipi Ibrahim

“Ya Allah, hanya cinta padaMu yang sejati.

Anak semata wayang ini aku sembelih

karena perintah-Mu. karena aku hamba-Mu.”

Pisau yang menyala itu kini menjilati leher Ismail,

Seketika darah segar menyembur seperti air mancur.

Ibrahim membuka matanya dan dia mendapati

seekor kambing tergeletak tak bernyawa.

Ismail tersenyum lebar di sampingnya

lalu Ibrahim memeluknya penuh suka-cita

Demikianlah Allah membalas pengurbanan hamba-Nya.

IV

Aku berdiri sekarang di tempat ini

Kulihat lautan manusia maha luas

Menyembelih tamak dan kikir di hati

Serta menahan nafsu yang membuas

Labbaik, Allahumma labbaik

Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu

Bumi Para Nabi, 1 Dzulhijjah 1428

*Catatan: Puisi ini mengacu pada al-Quran surat Ash-Shâffât ayat 100-111.

Friday, October 26, 2007

GERIMIS RINDU


Apabila suatu ketika hadir di hati seorang manusia sedetak rasa yang memanggil-manggil akan kehadiran, apakah namanya rasa itu? Rasa yang menjelmakan senyum simpul karena bayang-bayang. Yang kadang juga tak jarang dilambangkan dengan tetes bening air mata. Bukan karena duka dan kesedihan, melainkan cinta dan kasih yang memohon munajat. Bilakah 'kan berjumpa?

Yah...sebuah rasa itu adalah kerinduan.

Kemanakah kerinduan itu lalu mengalir? Segenap jiwa mengumpulkannya dalam keinginan. Dan kerinduan merambah ke segala. Yang tua maupun muda merindu. Bayi mungil merindukan belaian manja tangan halus ibunya. Sang ibu merindukan dekapan mesra suaminya. Suami pun merindukan pelukan kasih sayang dari bunda anak-anaknya.

Kerinduan-kerinduan yang berkejaran dalam kehidupan. Dalam setiap napas yang berhembus. Kemudian menciptakan sejarah, filsafat, agama dan apa saja. Hanya karena semua merindu. Segenap manusia merindukan kadamaian, walaupun mereka masih bingung menentukan kebahagiaan apa yang dimaksud. Juga karena kebahagiaan mengandung keambiguan makna dan setiap diri menafsirkannya dengan merdeka. Apakah kebahagiaan yang dirindukan? Padahal hampir dalam setiap doa lidah-lidah bergumam: "Berikanlah kebahagiaan dunia akhirat".

Semua merindu. Lalu apakah Tuhan juga merindu? Padahal Dia adalah Tuhan. Apakah Dia merasa sepi kemudian merindu? Apakah Dia merasa kurang sesuatu? Atau memang kerinduan-Nya tak beralasan sama sekali.

"Aku merindukan kafilah sebagai perwakilanKu di bumi." Pesan kerinduan yang didengar malaikat-malaikat yang selalu beribadah.

"Apakah hendak Kau ciptakan sesuatu yang akan berfoya-foya dengan kemegahan dunia? Yang hobi saling makan sesamanya. Yang bangga meminum darah segar saudaranya yang ia sembelih sendiri. Padahal kami tak pernah berpaling dari kepasrahan diri untuk sebuah peribadatan kepadaMu."

Suara sumbang malaikat. Perlambangan suasana kecemburuan sosial belaka, barangkali. Suara untuk memprovokasi Tuhan meredam kerinduanNya. Tapi bila kerinduan telah menjerit tiada lagi alasan untuk mengelak.

"Aku lebih mengerti apa yang kau tak mengetahui tentangnya." Diplomatis dan membunuh. Mau menjawab apalagi malaikat-malaikat itu untuk meredam kerinduan Tuhan. Atau mereka hendak mengikuti saudara iblis terkutuk. Yang terbuang dari syurga lalu merindukan kesesatan manusia sebagai teman bercengkrama, berjingkrak-jingkrak atau nonton bioskop twentyone untuk melihat film-film box office terbaru di neraka kelak.

Kerinduan itu pun menjelmakan Adam dan dialah kemudian yang menjawab sikap arogan malaikat.

Sebuah episode dalam gerimis rindu yang misteri.

"Maha Suci Engkau Yang Maha Mengetahui, mengajarkan apa yang kami tak fahami." Malaikat pun berucap lirih.

Pemuliaan Tuhan terhadap apa yang Dia rindukan pun telah menciptakan sejarah hitam pekat bagi sebagian yang lain. Sang perindu memang harus berkorban banyak hanya untuk sesuatu yang ia rindukan.

"Berikanlah penghormatan kepada Adam." Tuhan memerintah.

Maka setelah kalimat itulah kenikmatan manusia di syurga terancam. Kesombongan yang menyelimuti iblis merajalela dalam makar yang ia mintakan kepada Tuhan.

"Ijinkan kami untuk mencari teman dari manusia."

"Carilah semampumu"

Sebuah usaha yang dijalani sejak sumpah itu. Sumpah iblis terkutuk kadang lebih bisa dipercaya dibanding manusia jaman ini. Sementara angkara iblis membara, Adam merindukan melati sebagai pendamping menikmati kelezatan syurga.

"Percayalah, ini perintah Tuhan yang dititipkan kepadaku. Makanlah buah dari pohon khuldi itu"

"Maafkan kami Tuhan." Penuh penyesalan Adam dan Hawa memohon grasi.

Sebuah tipuan telah menjerumuskan manusia sehingga tak menyadari statusnya yang istimewa. Tuhan Maha Adil. Walaupun pada mulanya manusia sangat Dia rindukan tapi dalam hukum semuanya sama. Adam dan Hawa pun terdampar di dunia. Maka perhelatan pertandingan kehidupan dimulai dari sini. Manusia terombang-ambing dalam dua kerinduan. Kerinduan akan kebaikan dan kejahatan.

Grasi yang diajukan Adam dan Hawa karena pelanggarannya terhadap perintah Tuhan ditolak mentah-mentah. Keduanya harus puas dengan diasingkan dari syurga ke ring kehidupan yang dinamakan dunia. Pengasingan keduanya ke dunia sungguh sangat menyedihkan. Keduanya harus sabar menahan kerinduan-kerinduan yang menggelitik karena Tuhan menempatkan mereka secara terpisah. Resah gelisah menghantui.

"Oh Adam, linangan air mata tak cukup mewakili kehadiran dirimu."

"Duhai Hawa, kemana lagi akan kutuntun langkahku 'tuk mengais senyummu."

Tuhan kemudian menjodohkan mereka dalam pertemuan yang diskenariokan sendiri. Kerinduan Adam dan Hawa mempertautkan sempalan-sempalan syurga ke dunia.

"Biar Aku hadiahkan syurga-syurga mungil bagi kalian di dunia ini."

Syurga-syurga mungil itu kemudian diwariskan kepada kelompok besar anak cucu keduanya di belahan asia tenggara. Syurga-syurga mungil itu adalah bumi agung Indonesia.

"Nampaknya dari hamba-hambaKu yang pertama kali akan Aku perhitungkan kesyukurannya adalah orang-orang Indonesia. Indonesia adalah percikan syurga."

Manusia-manusia di belahan bumi yang lain mendengar desas-desus kalau Tuhan telah menurunkan percikan syurga ke dunia.

"Persiapkan pasukan kita. Kita akan bertolak ke asia. saya dengar Tuhan telah menaruh cipratan syurga di sana." Suara lantang raja kompeni Belanda.

"Percayalah kami adalah utusan Tuhan yang juga diwarisi syurga ini." Para pendatang merengek-rengek, merayu ahli syurga yang sah menurut tatanan hukum.

Sikap ramah dan kasian ahli syurga kepada tamunya sungguh sangat tinggi.

"Tak apa-lah kita nikmati bersama."

Tiga setengah abad lamanya tamu-tamu itu ternyata keenakan. Mereka enggan pulang ke rumah. Di sela waktu-waktu perjamuan yang lumayan lama itu, masyarakat ahli syurga diajarkan berbagai keterampilan. Termasuk bagaimana cara merampok yang cerdas. Yang tidak dirasakan perampokan oleh korbannya.

"Ini tamu kalau tidak kita usir lumayan juga. Kita telah miskin dibuatnya."

"Jangan gitu dong. Kita kan terkenal peramah."

"Tidak bisa. Kapan-kapan kita ramah lagi. Tapi sekarang ini dengan berat hati kita harus bertindak. Lagian syurga ini kan hadiah Tuhan untuk kita."

Baru saja tamunyaberhasil diuruh pulang, datang lagi yang lain.

"Maaf kami tidak menerima tamu lagi sekarang." Nipon ditolak. Tapi akhirnya, Nipon juga mampir sebentar. Sekedar ngobrol, minum kopi dan menghisap cerutu. Jamuan paling khas ahli syurga.

"Wah, sekarang kita tidak mungkin kedatangan tamu lagi. Di pintu sudah kita tulis: 'Tidak menerima tamu.' Mari kita nikmati syurga kita." Disambut riuh bahagia ahli syurga.

"Tolong syurga ini dibagi-bagi." Daulat kepala suku di republik syurga.

Ahli syurga kemudian hidup agak tenang. Walaupun kepala suku minta upeti dari seluruh dusun-dusun tak terlalu dipersoalkan.

"Kalau begini terus kita lama-lama akan mati. Ini kan bagian kita." Suara penduduk firdaus yang terkenal dengan sebutan Aceh.

"Ah, tidak bisa. Semua harus memberikan upeti." Keserakahan meliputi jiwa kepala suku.

"Jendral. Siapkan pasukan. Beri mereka pelajaran!"

"Siap, Bos. Semua akan dibereskan"

Kuliah pun dimulai. Pelajaran yang diberikan utusan kepala suku tidak bisa diterima oleh sebagian otak warga firdaus.

Aceh bergejolak. Suara-suara jangkrik, kokok ayam dan ringkikan kuda berganti suara senapan, bedil, dan raungan tank. Warga syurga ini menjadi prihatin. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun ada lidah yang lantang menentang maka esoknya lidah itu pun akan menjadi santapan semut. Ibu-ibu juga dipaksa menentang rasa berdosa kalau harus berbohong kepada anak mereka yang iseng bertanya.

"Bu, itu suara apa di luar rumah." Sang anak menanyakan batuk-batuk senapan perang saudara.

"Tidur saja nak. Itu nyanyian malaikat"

"Malaikat bernyanyi ya, Bu"

"Malaikat juga bernyanyi seperti Amin di sekolah." Hibur Bunda sembari menahan tetes air mata.

Keletihan jiwa telah melelahkan warga firdaus. Apakah yang dapat mereka lakukan? Hanya menjerit kepada Pemilik syurga itu. Sembab air mata yang bergumam di antara sujud dan sujud.

"Ya Allah. Hanya kepada-Mu aku berkeluh kesah. Apakah Kau tak tahu kalau aku merindukan kedamaian? Tuangkan kedamaian itu pada syurga ini. Damaikan, ya Allah."

Tuhan mendengar keluh-kesah hambaNya.

"Aku merindukan warga firdaus untuk menikmati kedamaian di sisi-Ku. Bagaimana kalau Aku utus tsunami untuk menjemput mereka ke syurga yang abadi."

"Jangan Tuhan. Apa nanti kata tetangga-tetangga mereka. Tuhan pasti akan disalahkan."

"Kalau dijemput pakai mercy, pesawat, atau yang lain nanti semua warga dunia mau ikut. Mereka kan senengnya yang gratisan."

"Tapi apa tidak ada cara yang lebih sopan, Tuhan. Aku khawatir ada yang salah sangka, mengatakan Engkau kejam."

"Mereka sudah rindu akan kedamaian. Aku tak mau basa-basi memberikannya. Biar juga yang lain tidak tahu kalau mereka ternyata Aku jemput ke syurga kedamaian yang kekal."

Dua kerinduan berkelindan membentuk panorama yang indah dan mempesona. Kerinduan Tuhan kepada hamba-Nya yang patuh juga kerinduan hamba akan kedamain dari Tuhan.

"Indonesia berduka. Tsunami menggasak Tanah Rencong." Headline sebuah surat kabar di bumi pertiwi. Hiruk pikuk, ratap tangis, dan jeritan nestapa manusia yang tak mengerti bahwa itu adalah jemputan Tuhan ke syurga. Para sastrawan, budayawan, rohaniawan, dan wan-wan yang lain sampai sariawan berdebat mengenai kasih Tuhan yang hanya satu diturunkan untuk di dunia. Bahkan tak sedikit yang menghujat.

"Tuhan memang kejam."

"Kenapa tidak Israel saja yang Kau kirimi tsunami, Tuhan."

"Aceh sudah sangat lelah, Tuhan. Setega itukah Kau Yang Maha Penyayang."

"Tuhan, apalagi yang Kau tumpahkan di Tanah Rencong itu? Apakah Kau tak melihat mereka telah lama menjerit dalam runtun kesedihan yang sangat? Apakah tak cukup operasi militer itu hingga Kau juga turun tangan mengirimkan duka yang pekat."

"Semestinya memang Tuhan harus menggantikan posisi kasih yang Tuhan turunkan ke dunia. Yang sembilan puluh sembilan itu di dunia ini dan yang satu di akherat agar tak terlalu banyak air mata yang tumpah ruah."

"Tuhan, air mata ini bukanlah basa-basi."

Segenap celoteh-celoteh berkumandang.menggema diantara sisa puing bangunan dan ceceran bangkai ahli syurga yang akan pulang ke syurga masing-masing.

Jemputan tsunami itu telah membuat kepala suku di induk syurga kalangkabut. Baru sekian detik menduduki singgasana sudah direpotkan oleh siluit kerinduan Tuhan kepada hambaNya

"Mari kita bangun kembali syurga kita yang terserabut."

"Tolong jangan salahkan Tuhan lagi, kita harus introspeksi.”

"Ya Allah. Ampuni hamba."

"Wah, gile banget. Tuhan memang keren, gue nggak ngebayangin deh sedahsyat itu."

Preman-preman pasar ikut ambil bicara.

Gerimis rindu Tuhan dalam episode yang misteri

"Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Hiduplah dalam kedamaian yang kekal di syurgaKU."

"Selamat tinggal duniaku yang penat." senandung jiwa-jiwa itu menuju kedamaian syurga firdaus di sisiNYA

Kairo 30 Januari 2005

Thursday, October 25, 2007

Selembar Tisu dan Sore yang Bisu


Pertemuan pertama

Sore di sebuah taman. Hening. Angin bulan Januari berhembus perlahan. Tenang. Matahari bersembunyi di balik awan. Kairo dalam dekapan musim dingin. Hawa menggigil menusuk tulang.

Aku diam termenung. Ini kali pertama aku putuskan untuk menemui bidadariku. Perempuan dengan hati sebening salju. Perempuan yang kini menjadi istriku, ibu anak-anakku. Aku berdiri menunggunya. Bangku panjang di taman itu kotor berdebu.

Bidadariku datang dengan setangkai senyum. Dia menatapku. Sepertinya bingung. Atau entahlah. Aku tak berani memandangnya terlalu lama. Sekilas kulihat dia tersipu.

"Maaf, kamu menunggu lama." Dia membuka kebekuan. Perasaanku tak menentu.

"Nggak kok. Nggak apa-apa." Aku menjawab sekenanya.

"Kok berdiri saja? Kan ada bangku." Ucapnya lemah-lembut. Jari lentiknya menunjuk bangku di sampingku.

"Bangkunya kotor."

"O..." Dia membuka bungkusan. Plastik berisi makanan ringan. Dua botol air mineral ukuran sedang. Dan semangkuk agar-agar.

"Aduh...tisunya cuman satu. Gimana dong?" Dia berkata sambil menatapku iba. Aku hanya diam. Memandangnya mengeluarkan selembar tisu. Membersihkan bangku. Kemudian menyilahkanku duduk.

"Bangkunya sudah bersih. Ayo, duduk."

"Terima kasih." Ucapku. Setelah itu kukatakan padanya tentang tujuanku menemuinya. Kukatakan bahwa aku jatuh cinta padanya. Kuungkapkan juga rencana dan mimpi-mimpiku. Cita-cita dan harapanku. Dan dia adalah pilihanku. Sebagai sayapku yang satu untuk terbang meraih impianku.

Matahari sebentar lagi rebah ke pangkuan malam. Dedaunan melambai. Barangkali haru. Perasaanku lega. Tapi di balik itu, dihantui takut. Harap. Juga cemas. Aku kemudian mohon diri.

"Terima kasih, karena menyayangiku. Tapi, beri aku waktu." Katanya.

"Aku akan menunggu." Ucapku. Kutatap matanya. Teduh. Dia menunduk.

"Ini, agar-agarnya dibawa. Kasian kan, entar di sini nggak ada yang makan." Dia menyodorkan semangkuk agar-agar itu. Aku jadi salah tingkah.

"Sudah, bawa." Ucapnya lagi. Aku tersenyum menerimanya. "Terima kasih." Aku berlalu. Berselendang doa, kukayuh langkahku. Semoga...Semoga dia adalah sayapku yang satu. Aku berbisik.

Nasi goreng cinta

Tiga siung bawang putih. Sebiji bawang merah ukuran sedang. Dua biji cabe merah. Dipotong tipis-tipis. Minyak goreng dua sendok makan. Masukkan bawang putih terlebih dahulu. Kemudian bawang merah. Lalu cabe. Dua ratus gram daging ayam yang sudah direbus. Campurkan ketumbar, sedikit lada, penyedap rasa, dan garam secukupnya. Berikan sedikit kunyit untuk menghasilkan warna kuning. Tuangkan nasi. Hasilkan nasi goreng yang nikmat.

"Gila men, kita makan enak sekarang." Aldo masuk dapur sambil mencomot ketimun yang kupotong rapi.

"He...sory aja yah. Ini buat bidadariku. Kalau mau, tuh bikin sendiri. Bahan-bahannya sudah ada."

"Ya ampun...segitunya yang jatuh cinta. Btw, Ini nasi goreng apa namanya?" Suara Aldo yang cempreng dikeraskan. Teman-teman yang sedang asyik nonton film berhamburan ke dapur.

"Wow, makan enak."

"Makan-makan."

"Tumben-tumben nih makan nasi goreng senikmat ini." Alfin menyantapnya tanpa beban.

"Nasi goreng apa yah?" Aris menatap nasi goreng penuh selera.

"Nasi goreng cinta..." Aldo, Aris, Alfin dan Riyan koor bersama. Aku hanya tersenyum melihat ulah mereka.

"Udah, entar malam saya bikinin kalian. Yang ini jangan disentuh. Ini khusus untuk bidadariku." Kututup mangkuk yang sudah kuisi nasi goreng.

Ups...hampir lupa. Sebagai penyedap mata. Letakkan ketimun dan tomat yang sudah dipotong rapi. Taburkan sedikit daun seledri.

"Sip...biar nggak malu balikin mangkuk agar-agarnya."

Ini hari Kamis. Bidadariku biasanya puasa sunah. Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuknya. Walau hanya semangkuk nasi goreng, yang entahlah aku juga tak tahu rasanya. Enak? Atau?

Selembar tisu dan sore yang bisu

Siang menggarang. Matahari bersinar terang. Panas serasa memanggang. Tapi panas di kampungku, di Lombok, tidak seberapa dibanding Kairo. Aku merasakan puasa di Kairo luar biasa beratnya.

Ini adalah kali pertama Ramadhan di Lombok, setelah lima belas tahun aku merantau. Lima ramadhan kulalui di Kairo. Dua ramadhan kusia-siakan. Tiganya lagi kuisi dengan doa. Bidadariku menuntunku untuk selalu dekat dengan-Nya. Tiga tahun itu adalah masa menungguku. Dan jawabannya adalah ijab kabul pernikahan kami, dilaksanakan di depan ka'bah.

Lima Ramadhan lagi kunikmati di negeri yang sangat dingin. Selesai S1 di fakultas sastra arab al-Azhar, kulanjutkan kuliahku di Moskow. Sinematografi dan perfilman adalah salah satu dari sekian banyak mimpiku. Aku adalah orang Indonesia kedua yang lulus dengan predikat cumlaude, setelah Suman Djaya. Penulis skenario film berjudul AKU yang sangat terkenal itu.

Lima Ramadhan berikutnya, kuhabiskan di kampung istriku. Seperti Nabi Syu'aib yang meminta Musa tinggal bersamanya selama sepuluh tahun. Mertuaku ternyata mensyaratkan setengah dari apa yang dilakukan Musa. Setelah selesai studi aku tinggal di kampung istriku lima tahun.

Sepuluh tahun usia pernikahan kami. Sepuluh Ramadhan bersama bidadariku. Sepuluh tahun hidup meraih cita-cita dan impian bersama. Sepuluh tahun meniti karir hingga kami bisa membangun perpustakaan umum, pusat belajar, sanggar drama, juga aku yang sudah menjadi orang ternama dalam dunia film dan sastra. Sepuluh tahun dalam bingkai suci dengan dua putra dan seorang putri. Sepuluh tahun aku berusaha untuk membuat bidadariku selalu tersenyum. Hingga akhrinya...di siang yang terik ini. Di Ramadhan pertama di kampung halamanku. Mimpi buruk itu terjadi.

Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menjadi sangat marah. Aku tidak bisa mengontrol emosi. Mungkin karena terlalu capek. Selesai sahur tadi pagi, aku menyelesaikan skenario film yang akan kugarap di Jepang. Film berjudul, "Tatta Hitotsuno Takaromono (satu-satunya milikku yang sangat berharga)" durasi satu jam. Selesai subuh mengisi pengajian. Menerima tamu. Membantu bidadariku mengurus Albert, Segara, dan Gaitsa. Jam delapan meluncur ke Universitas Mataram. Memberikan kuliah sastra bagi adik-adik mahasiswa. Kajian tokoh membahas Naguib Mahfuzh. Terakhir harus bertemu dengan Nakamura, sutradara asal Jepang rekan kerjaku nanti. Dan inilah biang masalahnya. Pertemuanku batal karena aku ditilang karena tidak bawa surat-surat mobil juga SIM. Benar-benar sial.

Mobilku memasuki halaman rumah. Bidadariku sedang menyiram bunga di taman. Kuturun dari mobil dengan muka masam. Tidak ada senyum. Tidak ada sapa untuk bidadariku. Pintu mobil kubanting keras. Brak...!!!

Kuhampiri bidadariku. "Siapa yang beres-beres mobil?" Suaraku lantang. "Semua urusan berantakan! Nakamura tidak bisa saya temui. Berapa uang melayang? Bisa-bisa dia tidak mempercayai saya lagi. Ngapain juga kamu beres-beres mobil. Itu kerjaanya Pak Udin. Kalau kamu mengurus pekerjaanmu, tidak akan begini. Mobil ditilang. Besok saya harus ke polres. Bla...bla...bla..." Aku masih saja ngomel sendiri. Kulihat wajah bidadariku sembab. Dia menangis.

"Maafin, Cinta. Cinta lupa." Hanya kalimat itu yang keluar sambil sesenggukan.

"Sudah begini, bisanya cuman nangis." Kemarahanku makin menjadi. Bidadariku menghambur ke kamar.

Aku cuek. Aku pergi ke rumah ibu. Anak-anak tidak ada di rumah. Berarti sedang main bersama nenek dan kakek mereka.

Kulihat anak-anak bersama kakek mereka. Aku ke dapur. Melihat ibu masak.

"Masak apa, Bu?"

"Masak gulai. Kesukaanmu. Kok sendiri? Cinta mana? Panggil ke sini, kita buka puasa bersama."

"Ah...biar saja dia di rumah."

"Lo...kok? Kalian tengkar? Kamu marah sama Cinta. Ya Allah, apa salah istrimu kok sampai begini? Mentang-mentang kamu sudah jadi orang, sikap kamu berubah padanya? Katanya dia bidadari penyelamatmu. Dia yang selalu membantumu. Dia yang selalu membuat kamu kuat. Tabah. Dulu waktu di Kairo, setiap kali nelpon kamu cerita kebaikan dia. Ini balasan untuknya? Dasar laki-laki tak tahu diuntung. Sana minta maaf. Jangan makan di sini."

Kata-kata ibu benar-benar menghunjam di ulu hatiku. Menohok. Kupulang ke rumah dengan berjuta penyesalan. Kulihat dapur kosong. Bidadariku benar-benar tersakiti. Aku tidak tahu mesti bagaimana mengobati perasaannya yang terluka.

Kunyalakan kompor. Mengambil penggorengan. Nasi sudah ada di magic jar. Oh...aku ingat. Nasi goreng cinta. Kubuka lemari es, agar-agar kesukaan istriku. Sebentar lagi adzan magrib. Kumandi kemudian berpakain rapi. Memasang jas hadiah ultah dari bidadariku. Kurogoh sakunya. Dan...selembar tisu sisa terawih tadi malam.

Kuketuk pintu. Tidak ada jawaban. Kubuka perlahan. Bidadariku sedang bersimpuh di sajadahnya. Kududuk di hadapannya. Kuambil tisu dari saku jasku.

"Sayang, maafin Papa yah. Papa khilaf. Papa salah." Kuusap pipi lembut bidadariku.

"Cinta yang salah. Bukan Papa." Bidadariku rebah di pangkuanku. Dia mencium tanganku.

"Kok tisunya cuman satu?"

"Kan Papa mau mengenang saat pertama kali menemuimu, Sayang." Kukecup kening bidadariku.

"Nasi goreng sama agar-agarnya juga?"

Aku hanya tersenyum. Adzan magrib berkumandang. Kusuapi bidadariku. Pintu terbuka. Anak-anak berhamburan ke pelukan kami.

"Mama, mama. Kata nenek, selesai lebalan, kita pelgi ke lumah nenek di Jawa pakai pesawat iya?" Gaitsa merajuk.

"Kok Mama nangis sih? Mama sedih iya?" Lanjutnya.

"Mama kangen sama kakek dan nenek di Bandung." Jawabku. Cinta; bidadariku mencubit lenganku■

Dialog Subuh

Langit memanggul bulan sabit. Malam bisu. Tanpa kata. Tanpa doa. Jendela kamarku kaku. Tidak lagi bercakap dengan angin. Tentang hujan. Tentang embun. Tak ada suara sepatu. Juga ketukan pintu. Ziarah telah istirah. Barangkali gerah. Mungkin saja gelisah.

Because the sky is blue. It makes me cry.*

***

"Ada apa sih? Tumben nelpon? Suaramu kok berubah sekarang? Apa karena kita tidak pernah ngobrol lagi? Jangan lama-lama! Entar uangmu habis."

"Aku mau ngomong sesuatu."

"Katakan saja. Tapi biaya nelponmu kan banyak. Kasian uang belanjamu." Dia masih khawatir. Aku tersenyum mendengarnya.

"Tenang saja. Biayanya murah kok."

Aku menghela napas panjang. Jeda.

"Jam berapa di Kairo?"

"Jam empat."

"Kamu baru bangun tahajjud?"

"Belum. Aku belum tahajjud. Kamu sendiri?"

"Di Jogja sudah pagi. Baru saja selesai duha. Aku sedang berjemur sekarang. Duduk di taman. Ada secangkir kopi. Beberapa biji pisang goreng. Koran pagi, masih seperti dua tahun lalu. Kamu pasti muntah membacanya. Hahaha."

"Hahaha," Aku dan dia tertawa lepas. Seperti membuang sesak. Sejenak. Selepas itu kembali sadar. Lalu gelisah.

"Ayo, dong. Katamu mau ngomongin sesuatu. Apa sih? Aku penasaran nih!"

"Oh...! E... Aku lulus."

"Lulus apa?"

"Lulus ujian. Sekarang tingkat dua."

"Tingkat dua? Bukannya tingkat tiga?"

"Itulah yang ingin aku katakan."

Aku ingin menangis. Menangislah! Aku ingin menangis seperti embun. Mengisi bibir-bibir bunga yang pecah. Kuncup yang mengundang kupu-kupu. Apakah mungkin? Entahlah! Barangkali aku masih senang bermimpi. Tentang perahu kertas yang menjelma perahu Nuh. Masih sering berimaji. Tentang tongkat Musa menjelma ular.

"Kamu masih di sana? Halo... Kok gak ada suara."

"Hm... Iya. Aku masih di sini."

Begitulah percakapanku dengannya. Adikku satu-satunya. Setelah dua tahun aku menghilang. Tanpa kabar. Tanpa berita. Bahkan tanpa aba-aba. Pernah suatu kali, kubertemu dengan seseorang dan dia bertanya,

"Siapakah yang paling kau rindui saat ini?"

Aku menjawab, tidak ada. Keluargamu? Lanjutnya. Aku tidak tahu, timpalku. Aku lebih memilih diam. Mengubur ingatan tentang kampung halaman. Juga membuang rasa sepi tentang cinta ayah-ibu.

"Kak... Kakak ada masalah?"

"Begitulah. Tahun lalu aku tidak ikut ujian. Aku lebih memilih duduk di pinggiran Nil. Setelah capek, kumampir di apotik dan membeli ratusan tablet obat penenang."

"Oh... Kok bisa seperti itu? Tidur tidak akan bisa menyelesaikan masalah."

"Aku benar-benar kalut."

"Sebabnya?"

"Aku capek. Bosan. Marah."

"Marah sama siapa? Keluarga?"

"Mungkin."

"Kenapa? Kamu merasa tidak diperhatikan?"

"Begitulah. Karena itu kurasa aku sudah tidak berfungsi lagi di dunia ini. Hidupku kubiarkan hancur-hancuran. Kerjaku hanya main game, chating, nonton film. Sesekali ikut kajian yang tidak kufahami agar kelihatan keren."

"Terus kuliah kakak gimana?"

"Kuliah di Azhar seperti masuk TK. Kita dijejali rumus-rumus yang sudah basi. Menghafal ini-itu. Tidak ada absen. Dosen ngomong pakai bahasa 'amiyah. Semaunya sendiri. Sinting memang. Kampusnya jorok. Dan lainnya. Dan lainnya."

"Terus apa yang kakak banggakan? Persiapan pulang bagaimana? Bukankah kakak yang menjadi harapan masyarakat?"

"Mungkin bangga karena kuliah di luar negeri. Karena otakku isinya hanya artis dan bintang film, kurasa aku tidak usah pulang. Aku akan jadi layang-layang di Kairo. Aku tidak layak diharapkan oleh siapa pun. Termasuk oleh diriku sendiri."

"Kak... Kakak jangan begitu."

"Iya. Itu bagian dari masa lalu. Sekarang aku sadar bahwa ada yang mesti kuraih di sini. Walaupun hanya secuil. Maafkan aku, Dik."

"Sudahlah. Rasa bersalah hanya membuat makin bersedih. Lupakan itu semua. Sekarang, adik akan melihat kebangkitan kakak. Adik yakin, kakak bisa melakukannya."

"Terima kasih, Dik."

"Kak, sudah lama nih. Bayarnya gimana?"

"Tenang saja. Kakak nelpon pakai internet. Bayarnya hanya empatpuluh pound. Bisa ngomong tujuh jam lebih."

"Terus apa saja yang mau diomongin?"

"Aku mau bercerita tentang bidadari yang telah menyelamatkanku."

"Dewi Venus? Ahai, sedang jatuh cinta, iya?"

"Bukan jatuh, tapi tenggelam. Aku bertemu dengannya di sebuah siang. Ketika aku tersesat. Putus asa. Aku tak tahu harus berjalan ke mana. Terik matahari seakan melumat badanku yang kurus kerempeng. Tapi senyumnya membuat langit terasa mendung dan sejuk.

"Dengannya kutemukan jalanku yang telah lama hilang. Kuucapkan selamat pagi untuknya. Mengajaknya melihat mentari dan kupu-kupu yang menari. Dia pula yang mengantarku kembali ke pangkuan ibu. Mengatakan padaku bahwa cinta ayah-ibu tak berujung, tak bertepi.”

"Dia mengajarkan aku untuk menghadapi gelisah dengan cahaya-cahaya doa. Menuntunku untuk membasuh marah dan dendam dengan gemericik air wudhu. Dia telah menjelma lautan maha luas. Menerima dengan cinta penuh seluruh."

"Kakak sudah membicarakan hal ini pada ibu?"

"Sudah. Ibu setuju saja. Aku hanya disuruh menunggu masalah bapak selesai. Emang bapak ada masalah apa?"

"Aku tidak tega menceritakannya. Setelah kakak ke Kairo, banyak masalah menimpa keluarga kita. Aku bahkan merasa hidup tidak adil. Ah... Aku tak bisa cerita, Kak."

"Tidak bisa cerita? Ayolah, aku ingin tahu. Please."

"Subuhnya masih lama nggak?"

"Sepuluh menit lagi."

"Kalau begitu, kakak sholat tahajjud aja dulu. Sekalian sholat subuh. Entar kakak nelpon lagi kalau sudah selesai. Adik akan cerita. Adik janji."

***

Kuselesaikan solat subuhku. Dua rakaat! Ya, aku masih ingat bilangan rakaatnya. Dua tahun sudah kubaringkan subuhku dalam mimpi-mimpi. Aku pernah merasa sangat bosan bertemu dengan Tuhan. Aku pergi. Jauh sekali. Ke dalam pekat. Barangkali Tuhan selalu setia manungguku. Aku sangat yakin. Bukankah Dia Maha Penerima? Bukankah pintu pengampunanNya belum tertutup untukku?

Kembali kutelpon adikku. Setelah doa pagi kutitipkan pada burung dara yang bertengger di jendela.

“Halo....”

“Yup... Subuhnya udah kan?” Adikku bertanya. Seperti ada yang menohok di tenggorokanku. Subuhnya udah kan?

“Sudah,” kuusap air mataku. Haru.

“Kakak sudah siap mendengar cerita di rumah?”

“Hmm, siap.”

“Waktu kita masih bersama, kita bilang hidup itu seperti air. Yah... Seperti air memang. Tapi air laut. Adik minta maaf. Kakak jadi merasa tidak diperhatikan. Hidup kita dua tahun belakangan carut-marut. Bisnis bapak hancur berantakan. Uangnya ditipu seratus juta. Barang-barang yang dikirim ke Canada tidak dibayar. Sawah kita sudah dijual semua. Untung ada tabungan sedikit, ditambah uang penjualan mobil. Sekarang hutang bapak tinggal limapuluh juta. “

“Sekarang ibu tinggal sendiri. Bapak pergi keluar negeri. Aku kuliah di Yogya dari beasiswa. Itupun hanya kuliahnya saja. Untuk makan aku jualan koran. Sekarang belajar menulis. Doakan tahun depan aku mau ikut seleksi ke Amerika. Nilaiku cukup untuk mendapatkan beasiswa itu.”

“Keluarga nggak mau kakak ikut pusing gara-gara masalah ini. Tapi semua ada hikmahnya. Mungkin karena kita sudah terlalu manja. Mungkin juga karena kita jauh dari-Nya.”

Oh... Aku tidak tahu lagi perasaanku. Kututup saja windows live massenger di komputerku. Aku tidak kuat mendengar cerita adikku. Sementara aku di Kairo tak melakukan apa-apa. Barangkali karena dosaku, semua ini terjadi.

Jika kau datang pada-Ku dengan berjalan, Aku datang padamu dengan berlari.**

Tuhan, Kau masih di sana kan? Tunggu, aku masih sangat merindu-Mu.

Because the sky is blue. It is make me cry.*

*(The Beatles)

**(Hadis Qudsi)