Saturday, September 27, 2008

Jejak Sunyi

Aku tak pernah membayangkan bila suatu ketika aku -akan- menjadi penulis. Ini cita-cita dan cinta yang kutemukan dalam diriku ketika aku hampir selesai dari masa remaja. Aku sekolah dari SD sampai lulus MAK, nyaris seperti matahari yang terbit setiap pagi. Hanya menjalani rutinitas tanpa pernah menyadari apa sebenarnya yang aku cari. Ketika kecil dahulu guru sering bertanya apa cita-citaku. "Menjadi dokter, pilot, presiden, dan lainnya." Itu adalah jawaban yang paling gampang dan terasa gagah bila disebutkan. Bahkan sampai kemudian aku bercita-cita menjadi penulis-lah aku baru sadar bahwa setiap manusia harus punya cita-cita, dan lebih dari itu, cita-cita itu adalah suatu yang harus dicintai sepenuh hati.

Cita-cita bukan sekedar impian akan sebuah tempat nyaman. Cita-cita pun tak sesederhana agenda kerja dengan gumpalan uang yang melimpah-ruah.

Bagiku puisi adalah darah yang jika berhenti mengalir berarti aku telah mati. Suatu saat kelak, aku akan bercerita bagaimana perjuanganku menulis. Saat ini dan sampai kapan pun, aku masih belum seberapa. Aku mungkin begini saja. Tak berkembang atau malah mundur ke belakang. Tapi tidak mengapa. Selama napas masih ada dan aku tak berhenti berusaha menjadi pengrajin kata yang baik, maka penting bagiku untuk menulis Jejak Sunyi. Puisi ada cita-citaku. Puisi adalah cintaku.

Monday, September 22, 2008

Gadis Suci dan Puisi

Untuk Religia

Aku diam
jendela biru terbuka
kulihat awan putih menari
burung bernyanyi di sebalik daun
dan seorang gadis suci termenung
"Aku ingin menulis puisi," bisiknya.

Kuambil segelas rindu dari hatiku
lalu kutuangkan di atas kertas
"Kertas ini basah," katanya
dan jari-jarinya memain-mainkan pena

Ia keluar ke balkon memungut debu,
daun kering yang baru saja jatuh dari tangkainya,
ia sisipkan suara burung, dan bertanya
"Di mana kita temukan hujan?"

Di sini tidak ada hujan, jawabku.

Ia ingin menulis puisi tentang hujan,
tapi di negeri debu ini hanya ada kabut.
Ia pun mengajak segala semesta
berkejaran di dalam kata.

Purwokerto, tempat lahirku, tulisnya
Aku mengingat Indonesia dan hujan pun
tak berani reda dari bola mataku.

Kairo, Senin, 1:09, 22 September 2008

Thursday, September 18, 2008

Puisi Asal Istri

Dari mana datangnya cumi-cumi
Dari samudra lalu ke pantai
Dari mana datangnya sang istri
Dari surga turun ke bumi

Kairo, Kamis, 18 Ramadhan 1429 H

Wednesday, September 17, 2008

Puisi Jatuh Cinta

Dari mana datangnya lintah
Dari perigi turun ke kali
Dari mana datangnya cinta
Dari puisi turun ke hati

Kairo, Jumat 5:54 1 Agustus 2008

Sunday, September 14, 2008

Puisiku di Suara Pembaruan

SUARA PEMBARUAN DAILY
Sajak Leo Kelana

Maut dan Kenangan

Kita sudahi saja

Sampai di sini

Kemas hatimu

Biar kupergi

Jangan ingat tentang kita;

Katamu berkaca

Padahal maut tak pernah bisa

Mengenang apa-apa

Ini hari makin terasa asing

Sore pun lekas menjadi petang

*

Aku

Aku dipenjara

Langit buta

Detak jantung berirama

Tetes air dalam gua

Sepi menekan

Paru-paru mendingin

Mata menjalang

Tak jua terpejam

Ini malam makin gulita

Ini badan tambah sengsara

*

Kertas

Biarkan kertas ini terjaga

Menanti apa saja

Menerima segala

Pena dan kata

Tanpa jeda

Tanpa tanya

Serupa aku?

Mereguk takdir tanpa ragu!

*

Pena dan Pisau

Aku berhadapan dengan kata

Sama sendiri, lalu menyepi

"Adakah itu pena menatapku tajam?"

Pisau bertanya sambil mengunyah puisi

Aku mengambil pena

"Besok pagi,

pisau ini akan kubuat puisi!"

kata menatapku curiga

*

Puisi

Puisi tak pernah sendiri

Ia mengajak pena, kata, dan pisau.

Mereka memanggul keranda

Selembar kertas tewas di tangan penyair

Mereka bersulang doa

Menulis nisan dan menanam kamboja

"Ahai, ada senja melukis air mata!"

*

Nisan

Nisan di bawah kamboja

Menusuk sunyi

Memahat air mata

dan wangi asap dupa

Keranda bisu

Mengantar mati

Lalu tersedu

"Nyawa siapa lagi yang pergi?"

*

Aku pun Mendoakan Pernikahanmu

Saat kau melangsungkan pernikahanmu

Kau masih bertanya tentang diriku

Demikianlah perihal yang kutahu

Duhai demikian syahdu kau senandungkan cinta kita

Tolong sebagai kenang saja segala air mata

Sebab sebuah entah masih harus kutelusuri

Sebab sebuah langkah mesti harus kujalani

Hapus air matamu karena sejarah menulis dirinya sendiri

Aku tahu kau gemetar mencium pundak tangan suamimu

Kau cari wujudku; aku gentar dengan semua tulus kasihmu

Bisikku ketika pertama kali kita bersama di bilik bulan purnama

Kita saling mengikat pada teka-teki: cinta, masa,

Dan hidup yang tak pernah terduga.

Kairo, 21 Mei 2006

Last modified: 12/9/08

Puisiku di Kompas

Puisi-puisi Leo Kelana

Minggu, 14 September 2008 | 01:07 WIB

Sajak di Malam Hari

Angin berjelaga
Gelas yang kosong
tiba-tiba terisi cinta.

Hati bicara pada batu dan debu.
Langit selamanya biru,
tapi getar kasih membuatnya kelabu.

Seperti ada kupu-kupu hinggap di mataku
Kupu-kupu ungu membawa nektar madu
Adakah sepi yang paling niscaya selain cinta?
Adakah gelisah yang paling misteri kecuali kasih?

Kita sama! Saling bertanya
pada kembang sepatu.
Kita sama! Saling bersembunyi
di sebalik sayap rahasia.

Kita; aku dan kamu-kah itu
yang membacakan sajak
pada sunyi di malam hari?
Kairo:2008

Sepi

Lagu apa pula menyanyi
di tengah malam
pintu bercakap pada dirinya;
yang lelah
yang pasrah
seperti ada malaikat turun perlahan
mengantar subuh yang hangat
tapi diri memagut
pada sepi tak tertahan
terasa matahari pun
enggan menjumpai pagi
Kairo 30 April '06

Sudahlah
-Untuk Aya-

Aku bertanya padamu
angin apakah mengantar pesan
dan kau mulai peduli diriku;
pejalan tak selesai berangan
Sudahlah!
di Kairo ini hatiku semakin pekat
membaca berita dari negeri laknat
lalu sekarat
lalu kiamat
dan di atas segala itu;
perasaanku padamu telah tamat
Kairo April '06

Pejam, pejamlah
-Untuk Putri Amanda-

Pejam
Pejamlah
lalu hati
lalu jiwa
dalam hidupmu yang aroma bunga
di Nil ini kucoba menepi
bersandar pada piramid
tegak diri
berdiri sendiri
dan kau di sana bernyanyi-nyanyi
mencumbu pagi
menimang bayi
ah...hidupmu pun sempurna
menjadi perempuan
sementara aku berkelana
tenggelam lalu tertawan
Kairo April '06

Selepas Magrib

Selepas magrib kala itu
kudatang padamu
membawa segelas doa
untukmu adinda

Adalah ibu yang rajin mengirim salam
menitip nakalku padamu
tuk bermanja pada senyum
yang kau pilin setiap bertemu
Kairo April 2006

Terima Kasih, Istriku

Terima kasih
atas sejuk binar matamu
tempat istirah
dari musafirku yang lelah.

Terima kasih
atas teduh senyummu
tempat bernaung
dari hidupku yang garang.

Terima kasih
atas sebentuk cinta putih
hatimu yang lapang
tempatku bermain layang.

Kau pulangkan aku
pada pangkuan ibuku
setelah kau kenalkan aku
pada bunga-bunga di taman hatimu

Di pelukanmu aku merasa
menjadi kanak kembali
yang manja minta cerita
tentang bidadari di surga


Leo Kelana: Lahir di Janapria, Lombok Tengah, NTB. Saat ini sedang belajar di Fakultas Bahasa dan Sastra Arab Universitas Al-Azhar Kairo. Sehari-hari ‘berkebun’ di http://leokelana.blogspot.com.