Monday, February 18, 2008

Jalan yang Lelah

Jalan yang Lelah (oleh : Leo Kelana)
Minggu, 10-02-2008 00:20:1

Rembulan mematung sendiri di langit biru. Hanya bintang-gemintang berkedap-kedip menahan kantuk yang menemaninya. Malam membentang yang selalu menyimpan misteri sedikit lagi terserabut fajar. Lolongan anjing, suara jangkrik, dan desah daun nyiur melambai. Menebas-nebas alam pikir. Bulu kuduk berdiri. Mencipta penantian yang tinggal sejingkat langkah serasa seabad lamanya.
Angin mendayu. Menyampaikan pesan panggilan dari-Nya ke relung-relung kalbu. Mengabarkan kepada segala penghuni mayapada mengenai peringatan lama nabi-nabi bangsa Semit: "Bertobatlah, karena pengadilan Tuhan sudah dekat."
Waktu terus bergumam, antara resah dan murka. Melihat tingkah-polah manusia yang semakin angkuh. Tetapi manusia tak mau perduli. Dan siapakah yang lebih tak perduli? Adakah? Ya, ada! Dia adalah Tuhan. Tuhanlah yang memiliki kesombongan, dan Dia tidak butuh apa-apa dari manusia. Kemudian Dia biarkan manusia menciptakan jalannya sendiri. Terserah! Kemana saja mereka mau. Toh, Tuhan pun tak akan rugi seandainya surga-Nya kosong melompong tak berpenghuni. Dia juga tak dapat untung apa-apa sekiranya seluruh manusia antri di loket-loket neraka menunggu pemeriksaan tiket mereka.
Akan tetapi, Dia Maha Bijaksana. Dengan sedikit sapa. Entah gunung meletus, banjir bandang atau krisis-krisis yang telah menciptakan napas yang jenuh, Dia tegur hamba-Nya. Sungguh Rahmat Tuhan sangatlah luas. Lalu nikmat-Nya yang manakah yang engkau syukuri?
*****
Malam masih pekat. Tapi suara-suara jangkrik tak lagi terdengar. Yang ada adalah suara dari corong-corong surau. Alunan ayat-ayat suci yang syahdu. Namun, di antara manusia, hanya sedikit sekali yang menjemput hidangan Tuhan mereka. Bukankah Tuhan menebarkan kasih-Nya saat itu? Ah...mereka masih dan sedang menikmati ibadah di Kairo. Dalam mimpi-mimpi mereka pada tidur nyenyak yang mereka nikmati.
Seorang renta keluar dari gubuknya. Rumah ukuran empat meter persegi yang ia tinggali bersama bayangnya sendiri, ditemani sepi, sahabat lamanya. Kerasak-kerusuk suara kakinya meraba jalan menuju tempat wudhu di sudut halaman rumahnya. Ia berjalan perlahan hanya dituntun mata kakinya. Matanya sendiri telah rabun dan tak mungkin lagi mengharapkan bantuannya di malam hari.
Gemericik air mengalir membasahi wajahnya yang sudah keriput di makan zaman. Setelah semuanya sempurna ia tengadahkan tangannya. Berpasrah diri sambil menghadapkan wajah ke langit. Ia membisikkan sesuatu kepada Sang Pemilik semesta. Melantunkan doa.
Dengan memakai sarungnya yang sudah lusuh dan tak jelas lagi warnanya, ia berangkat ke surau di ujung kampungnya. Ia sudah lama menjalani rutinitas seperti ini. Seolah telah pasrah pada nasib. Tapi ia selalu berusaha untuk selalu lebih baik dan ikhlas dalam menjalani hidupnya. Ya... Bukankah hidup adalah perjuangan? Bukankah hidup adalah pengorbanan? Dan yang lebih penting lagi, bukankah hidup adalah ibadah? Deretan kalimat yang selalu ia jadikan motivasi untuk tetap tabah menjalani hidupnya.
Ia masih berzikir sendiri. Menunggu jamaah yang lain untuk shalat subuh bersama. Ia menangis tersedu, mengingat jalan hidupnya yang tak pernah lekang dalam ingatannya. Sebersit ingatannya kini kembali ke bagian dari masa lalunya yang suram.
Hari-hari yang penuh dengan tekanan. Ia memang hidup pada masa-masa yang sulit. Masa di mana kebebasan berbicara terkukung di bawah ketiak para penguasa. Dan menentangnya berarti duka nestapa. Seperti yang ia alami sendiri. Dengan segenap keimanan yang ia miliki, ia tetap sabar menghadapi berbagai fitnah dan cobaan.
Kini ia hidup sendiri. Babak kehidupannya berubah drastis ketika suatu pagi yang tak pernah ia duga, ia dijemput beberapa orang berpakaian loreng.
"Selamat pagi, Pak."
"Ya, pagi."
"Pak Salim ada?"
"Saya sendiri." Jawabnya dengan pandangan penuh selidik.
"Ada apa, Pak?" Ia sudah tak sabar lagi menunggu penjelasan dari para polisi itu.
Pandangannya gusar.
"Pasti ada yang tak beres." Gumamnya dalam hati.
"Maaf Pak, bisa kami masuk dulu," Kata salah seorang dari mereka.
Ia lupa mempersilahkan para tamu istimewanya karena panik.
"O ya. Silahkan"
"Maaf saya lupa mempersilahkan bapak-bapak." Ia memang sangat sopan kepada para tamu bahkan musuhnya sekalipun.
"Tidak apa-apa."
Suasana kemudian hening. Sesaat kemudian kopi hangat sudah tersaji di meja. Keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Istri Pak Salim kemudian duduk di samping suaminya.
"Silahkan Pak, kopinya diminum," Katanya memecah kesunyian.
"Ya. Terima kasih, Bu" Mereka kemudian minum. Sementara binar-binar keresahan masih terlihat di wajah Pak Salim.
"Begini Pak, Bu." Kata salah seorang yang tampaknya menjadi pimpinan rombongan itu. "Kami dari kepolisian mendapat tugas untuk menjemput Bapak."
"Ini surat perintah kami," kata yang lain menyodorkan selembar kertas.
Ia kemudian membuka lembaran kertas surat itu. Betapa air matanya beranak sungai setelah membacanya.
"Ada, Pak?" Bu Salim bertanya melihat wajah sang suami yang berlinang air mata. Ia raih kertas di tangan suaminya. Ia mengusap air matanya. Jelas sekali di wajahnya tergambar kepedihan yang mendalam. Ia baru menyadari ternyata tamunya adalah petugas kepolisian yang akan memisahkan ia dengan suaminya.
"Tunggu dulu, Pak." Dengan suara yang dipaksakan Pak Salim mencoba meminta penjelasan. Ia tidak menghiraukan pertanyaan dari istrinya tercinta.
"Maaf, saya sama sekali tidak paham maksud surat ini."
"Ini fitnah."
"Maaf kami hanya menjalankan tugas, dan kami harap Bapak mengerti."
Suara tangis pun meledak. Bu Salim sudah tidak kuat menahan tangisnya.
"Pak....." Suaranya yang parau memanggil suaminya. Tapi, bayangan Pak Salim sudah lenyap dibawa kijang patroli.
Sejak saat itu mereka kemudian melewati hari demi hari dalam tangis nestapa yang tiada henti. Tangisan pilu ketidak-berdayaan. Salim putra mereka satu-satunya yang aktif di lembaga dakwah kampus, hilang ketika peristiwa September berdarah. Segala usaha dicoba, tapi hasilnya nihil. Ia telah lenyap.
Istrinya dengan sabar mengandung anak mereka. Sekali seminggu ia kunjungi suaminya di rumah tahanan. Hingga suatu hari, keputusan Tuhan berbicara lain. Istrinya berpulang ke haribaan-Nya sebelum melahirkan. Ia ditabrak mobil ketika menyebrang sepulang dari rumah sakit setelah memeriksakan kandungannya.
Yah...Ia pun dengan sabar menjalani hidupnya di rumah tahanan. Penungguannya yang begitu lama untuk diproses di pengadilan ternyata juga sia-sia. Fitnah yang begitu keji dituduhkan kepadanya. Ia hanya ingin bahwa pendiriannya yang sangat prinsipil tidak diganggu. Bahwa Pancasila tidak bisa dijadikan asas tunggal. Tapi, pemerintah tak mau tahu. Dan ia dituduh melanggar ketentuan negara dan berbuat makar.
Kini, vonis hukumannya telah ia penuhi. Tiga puluhan tahun menikmati lika-liku kehidupan di penjara semakin mempertebal imannya. Tapi, hingga saat ini semua perkara yang dituduhkan ternyata sama sekali tak pernah disidangkan di pengadilan. Hidupnya kemudian menunggu panggilan-Nya. Ia ingin sisa umur yang masih ada, tercurah untuk bekal di akhirat kelak.
"Allahu akbar Allahu akbar." Suara adzan subuh menggema.
Ia usap air matanya kemudian menuju mimbar. Suaranya terdengar syahdu. "Ash- sholatu khairum minan naum."

Banjarmasin Post

Alhamdulillah cerpenku nongol di Banjarmasin Post. Bisa dilihat di sini : http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/16506/92/. Nggak nyangka juga coz cerpen itu adalah cerpen perdana yang kubuat di Kairo, ketika aku mulai mencari kira-kira aku punya nggak sesuatu, punya nggak keahlian. Sekarang bukan berarti aku ahli dengan dimuatnya cerpen itu, tapi setidaknya aku sudah berusaha mencari. Kata Allah, Dia melihat usaha. So, just try and try.

Cerpen ini juga kukirim sudah lama. Aku nggak ingat bulan apa. Tapi yang jelas, aku bersyukur. Di tengah cobaan yang aku alami, ternyata ada saja kabar gembira yang membuatku lebih semangat menghadapi hidup ini. Ya Allah, maafkan aku yang sering berburuk sangka pada-Mu. Untuk keluargaku di Lombok, kita semua sedang berjalan meniti tangga-tangga langit. Jangan gentar, jangan gemetar. Seperti kata Barak Obama, Yes, We Can. We can, kita bisa. Terima kasih ya Allah. Untuk nakama-ku Brgafisca, arigato gozaimashita atas semuanya. Sukses selalu.

"Para pemenang datang ke dunia ini dengan pikiran bahwa ia adalah pemenang. Buang pesimis dari otak, ubah mimpi menjadi nyata."

Tuesday, February 12, 2008

Alhamdulillah

Hampir tiga bulan saya tidak memperbarui isi majalah dinding ini. Kadang saya merasa sangat malas. Kata adik saya, I haven't time. Time is money. So, I mean I haven't money.

Maybe, untuk ke depan, majalah dinding ini akan saya isi dengan bermacam cerita. Kemarin saya kumpul bersama teman-teman di Samas (Sajak Masyarakat Indonesia di Mesir). Kami berencana membuat antologi puisi. Itu belum seberapa karena target yang ingin dicapai membuat kepala saya seperti akan meledak. 1001 puisi. Gila! Saya bersyukur punya sahabat-sahabat yang penuh semangat. "Aku suka pada mereka yang berani menemui hidup."

Sudah dulu, besok atau entah kapan, saya akan bercerita. Cerita yang hanya pernah saya sampaikan lewat doa-doa malam untuk disampaikan malaikat kepada Allah.

Puisi Ulang Tahun

SUARA PEMBARUAN DAILY

Sajak Leo Kelana

Puisi Ulang Tahun

(sewangi melati

kukirimkan puisi ini

untuk Sari Rahmawati)

Hari ini yang adalah ulang tahunmu

kuingin sekali berada di sampingmu

menyanyikan panjang umurnya panjang umurnya,

dan kau tiup lilin sambil hati kita terus saja berdoa

Tapi aku hanya duduk di jendela

memandang jauh ke sana

memandang entah apa

sementara tanganku

tak henti-hentinya

mengusap air mata

"Sayang, maaf bila

tak bisa buatmu bahagia."

*

Senja Ini

Ada yang tak pernah selesai bertanya

tentang aroma bunga

gemericik air sungai

dan kupu-kupu berwarna ungu

Seperti senja ini

kudzikirkan rindu

menyiramkan air mata

entah mengingat apa

*

Senja Itu

Terkenang saat pertama kali

Kududuk denganmu di sini

"Lihatlah matahari itu," ucapmu

Aku memilih menatap wajahmu

*

Subuh Nanti

Sayang, kaukah itu

yang selalu gegas

berdoa untukku?

Kucium aroma

mawar doamu

embun berjelaga

semanis madu

*

Besok Sore

Sebait puisi

setangkai bunga

dari yang menangis

karena tulus cintamu

*

Ilalang

Ingin kubangun istana

di tengah padang ilalang

lalu kugubah puisi

tentang anak-anak kita

yang khusyu' mengaji,

bunga-bunga rumput,

dan senyummu

yang buatku tertawan

*

Gadisku

Pandangmu adalah telaga

Jernih tanpa noda

Tatapmu adalah cahaya

Bening bintang kejora

Kairo, 15 Maret 2007


Last modified: 18/1/08