Alif Laam Miim
Ya Allah, Tuhanku
Gantung jiwaku agar tegak seperkasa Alif-Mu
Raih tanganku untuk menari, membawakan suguhan
Cinta rindu redam, zikir membasah di lidahku
Agar aku lupa cara bersumpah-serapah
Karena gersang bumi
dan kutub utara yang lebur mendatangkan tsunami.
Ya Allah, Tuhanku
Banjiri pikirku dengan bandang dan badai
keagungan-Mu melalui ayat-ayat alam,
Lapis-lapis langit yang senantiasa bertasbih
Meneteskan hujan dan embun air mata
Matahari-Mu yang gagah perkasa
Memanggang badanku yang kurus-kerempeng
Agar aku ingat panas neraka yang tak terbayang.
Tuhanku, jadikan Lam-Mu
Api yang membakar hutan belukar maksiatku
Lantas Kau datangkan sampan Nuh
Yang menyeberangkan ruh-ku
Menuju dermaga pengampunan-Mu,
Aku rindu saat Kau tiupkan ruh ke dalam jasadku
Dan Kau bertanya, “Bukankah aku adalah Tuhanmu?”
Aku menjawab, “Benar. Aku bersaksi, Kau adalah Tuhanku.”
Lalu ketika aku mampir ke sepetak bumi ini
Kutuhankan uang, kutuhankan pemilihan umum,
Kutuhankan partai politik, kutuhankan kursi presiden,
Kutuhankan juga setan iblis dan nafsuku.
Datangkan air dari telaga alkautsar-Mu,
Basuhlah hatiku agar tulus mengakui tauhid-Mu
Kau Yang Esa, Kau Yang Satu,
Kau Yang Raja di atas segala raja
Kaulah Tuhanku!
Bukan uang, bukan pemilihan umum,
Bukan partai politik, bukan kusri presiden,
Bukan setan iblis, bukan pula nafsuku!
Basuhlah, ya Allah...
Mim-Mu adalah cahaya maha cahaya
Kau datangkan lentera di pekat gelap
jalanku menuju rumah sunyi
tapi Kau menggamitku ke rumah-Mu yang ramai
“Di sini, di Mekah ini, Ibrahim dan Ismail
mendirikan pancang tiang bendera
agar kamu sadar, harus dibawa kemana
hatimu berwisata,” tegurMu ketika kulihat
seorang laki-laki berjubah putih membaca
awal al-Baqarah di depan Ka’bah
“Alif Laam Miim. Inilah kitab al-Quran
yang tiada keraguan di dalamnya,
sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”
Aku melihat langit terbuka,
dan jibril membawa serta doaku ke sana.
Ibrahim, Ismail, dan Seekor Kambing*
I
Ibrahim terjaga dari tidurnya ketika langit
menghidangkan bulan sabit
“Semalam aku bermimpi yang itu lagi,” bisiknya
sambil menatap Ismail dengan iba
Ketika matahari terjaga, Ibrahim menghampiri
Ismail dan berkata, “Anakku, aku melihat
dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu,
pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”
Ismail menjawab, “Ayahanda, kerjakanlah
apa yang Allah titah, apa yang Allah perintah,
Pada-Nya aku berserah,
Pada-Nya aku menyerah.”
II
Ayah dan anak itu bergegas pergi menuju Allah,
malaikat membentangkan sayapnya,
gemuruh tasbih dari lidah semesta,
bersaksi tentang Ismail yang akan disembelih.
Gersang sahara membakar mereka,
Iblis datang membawa aroma neraka,
“Hahaha, apa yang kau lakukan hai orang gila?”
Ibrahim dan Ismail memungut tujuh batu kerikil,
“Bismillahi Allahu akbar! Bismillahi Allahu akbar!
Dengan nama Allah yang Maha Besar!
Enyahlah kau makhluk terkutuk!”
III
Aku menyaksikan Ibrahim menengadah
dan Ismail pasrah menyerah
kudengar mereka berdoa
“Ya Allah, kami telah memenuhi panggilan-Mu.”
Ketika pisau yang menyala itu diletakkan
di leher Ismail, air mata melaut di pipi Ibrahim
“Ya Allah, hanya cinta padaMu yang sejati.
Anak semata wayang ini aku sembelih
karena perintah-Mu. karena aku hamba-Mu.”
Pisau yang menyala itu kini menjilati leher Ismail,
Seketika darah segar menyembur seperti air mancur.
Ibrahim membuka matanya dan dia mendapati
seekor kambing tergeletak tak bernyawa.
Ismail tersenyum lebar di sampingnya
lalu Ibrahim memeluknya penuh suka-cita
Demikianlah Allah membalas pengurbanan hamba-Nya.
IV
Aku berdiri sekarang di tempat ini
Kulihat lautan manusia maha luas
Menyembelih tamak dan kikir di hati
Serta menahan nafsu yang membuas
Labbaik, Allahumma labbaik
Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu
Bumi Para Nabi, 1 Dzulhijjah 1428
*Catatan: Puisi ini mengacu pada al-Quran surat Ash-Shâffât ayat 100-111.
No comments:
Post a Comment