Sunday, December 16, 2007

Alif Laam Miim

Alif Laam Miim

Ya Allah, Tuhanku

Gantung jiwaku agar tegak seperkasa Alif-Mu

Raih tanganku untuk menari, membawakan suguhan

Cinta rindu redam, zikir membasah di lidahku

Agar aku lupa cara bersumpah-serapah

Karena gersang bumi

dan kutub utara yang lebur mendatangkan tsunami.

Ya Allah, Tuhanku

Banjiri pikirku dengan bandang dan badai

keagungan-Mu melalui ayat-ayat alam,

Lapis-lapis langit yang senantiasa bertasbih

Meneteskan hujan dan embun air mata

Matahari-Mu yang gagah perkasa

Memanggang badanku yang kurus-kerempeng

Agar aku ingat panas neraka yang tak terbayang.

Tuhanku, jadikan Lam-Mu

Api yang membakar hutan belukar maksiatku

Lantas Kau datangkan sampan Nuh

Yang menyeberangkan ruh-ku

Menuju dermaga pengampunan-Mu,

Aku rindu saat Kau tiupkan ruh ke dalam jasadku

Dan Kau bertanya, “Bukankah aku adalah Tuhanmu?”

Aku menjawab, “Benar. Aku bersaksi, Kau adalah Tuhanku.”

Lalu ketika aku mampir ke sepetak bumi ini

Kutuhankan uang, kutuhankan pemilihan umum,

Kutuhankan partai politik, kutuhankan kursi presiden,

Kutuhankan juga setan iblis dan nafsuku.

Datangkan air dari telaga alkautsar-Mu,

Basuhlah hatiku agar tulus mengakui tauhid-Mu

Kau Yang Esa, Kau Yang Satu,

Kau Yang Raja di atas segala raja

Kaulah Tuhanku!

Bukan uang, bukan pemilihan umum,

Bukan partai politik, bukan kusri presiden,

Bukan setan iblis, bukan pula nafsuku!

Basuhlah, ya Allah...

Mim-Mu adalah cahaya maha cahaya

Kau datangkan lentera di pekat gelap

jalanku menuju rumah sunyi

tapi Kau menggamitku ke rumah-Mu yang ramai

“Di sini, di Mekah ini, Ibrahim dan Ismail

mendirikan pancang tiang bendera

agar kamu sadar, harus dibawa kemana

hatimu berwisata,” tegurMu ketika kulihat

seorang laki-laki berjubah putih membaca

awal al-Baqarah di depan Ka’bah

“Alif Laam Miim. Inilah kitab al-Quran

yang tiada keraguan di dalamnya,

sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”

Aku melihat langit terbuka,

dan jibril membawa serta doaku ke sana.

Ibrahim, Ismail, dan Seekor Kambing*

I

Ibrahim terjaga dari tidurnya ketika langit

menghidangkan bulan sabit

“Semalam aku bermimpi yang itu lagi,” bisiknya

sambil menatap Ismail dengan iba

Ketika matahari terjaga, Ibrahim menghampiri

Ismail dan berkata, “Anakku, aku melihat

dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu,

pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”

Ismail menjawab, “Ayahanda, kerjakanlah

apa yang Allah titah, apa yang Allah perintah,

Pada-Nya aku berserah,

Pada-Nya aku menyerah.”

II

Ayah dan anak itu bergegas pergi menuju Allah,

malaikat membentangkan sayapnya,

gemuruh tasbih dari lidah semesta,

bersaksi tentang Ismail yang akan disembelih.

Gersang sahara membakar mereka,

Iblis datang membawa aroma neraka,

“Hahaha, apa yang kau lakukan hai orang gila?”

Ibrahim dan Ismail memungut tujuh batu kerikil,

“Bismillahi Allahu akbar! Bismillahi Allahu akbar!

Dengan nama Allah yang Maha Besar!

Enyahlah kau makhluk terkutuk!”

III

Aku menyaksikan Ibrahim menengadah

dan Ismail pasrah menyerah

kudengar mereka berdoa

“Ya Allah, kami telah memenuhi panggilan-Mu.”

Ketika pisau yang menyala itu diletakkan

di leher Ismail, air mata melaut di pipi Ibrahim

“Ya Allah, hanya cinta padaMu yang sejati.

Anak semata wayang ini aku sembelih

karena perintah-Mu. karena aku hamba-Mu.”

Pisau yang menyala itu kini menjilati leher Ismail,

Seketika darah segar menyembur seperti air mancur.

Ibrahim membuka matanya dan dia mendapati

seekor kambing tergeletak tak bernyawa.

Ismail tersenyum lebar di sampingnya

lalu Ibrahim memeluknya penuh suka-cita

Demikianlah Allah membalas pengurbanan hamba-Nya.

IV

Aku berdiri sekarang di tempat ini

Kulihat lautan manusia maha luas

Menyembelih tamak dan kikir di hati

Serta menahan nafsu yang membuas

Labbaik, Allahumma labbaik

Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu

Bumi Para Nabi, 1 Dzulhijjah 1428

*Catatan: Puisi ini mengacu pada al-Quran surat Ash-Shâffât ayat 100-111.

No comments: