Friday, October 26, 2007

GERIMIS RINDU


Apabila suatu ketika hadir di hati seorang manusia sedetak rasa yang memanggil-manggil akan kehadiran, apakah namanya rasa itu? Rasa yang menjelmakan senyum simpul karena bayang-bayang. Yang kadang juga tak jarang dilambangkan dengan tetes bening air mata. Bukan karena duka dan kesedihan, melainkan cinta dan kasih yang memohon munajat. Bilakah 'kan berjumpa?

Yah...sebuah rasa itu adalah kerinduan.

Kemanakah kerinduan itu lalu mengalir? Segenap jiwa mengumpulkannya dalam keinginan. Dan kerinduan merambah ke segala. Yang tua maupun muda merindu. Bayi mungil merindukan belaian manja tangan halus ibunya. Sang ibu merindukan dekapan mesra suaminya. Suami pun merindukan pelukan kasih sayang dari bunda anak-anaknya.

Kerinduan-kerinduan yang berkejaran dalam kehidupan. Dalam setiap napas yang berhembus. Kemudian menciptakan sejarah, filsafat, agama dan apa saja. Hanya karena semua merindu. Segenap manusia merindukan kadamaian, walaupun mereka masih bingung menentukan kebahagiaan apa yang dimaksud. Juga karena kebahagiaan mengandung keambiguan makna dan setiap diri menafsirkannya dengan merdeka. Apakah kebahagiaan yang dirindukan? Padahal hampir dalam setiap doa lidah-lidah bergumam: "Berikanlah kebahagiaan dunia akhirat".

Semua merindu. Lalu apakah Tuhan juga merindu? Padahal Dia adalah Tuhan. Apakah Dia merasa sepi kemudian merindu? Apakah Dia merasa kurang sesuatu? Atau memang kerinduan-Nya tak beralasan sama sekali.

"Aku merindukan kafilah sebagai perwakilanKu di bumi." Pesan kerinduan yang didengar malaikat-malaikat yang selalu beribadah.

"Apakah hendak Kau ciptakan sesuatu yang akan berfoya-foya dengan kemegahan dunia? Yang hobi saling makan sesamanya. Yang bangga meminum darah segar saudaranya yang ia sembelih sendiri. Padahal kami tak pernah berpaling dari kepasrahan diri untuk sebuah peribadatan kepadaMu."

Suara sumbang malaikat. Perlambangan suasana kecemburuan sosial belaka, barangkali. Suara untuk memprovokasi Tuhan meredam kerinduanNya. Tapi bila kerinduan telah menjerit tiada lagi alasan untuk mengelak.

"Aku lebih mengerti apa yang kau tak mengetahui tentangnya." Diplomatis dan membunuh. Mau menjawab apalagi malaikat-malaikat itu untuk meredam kerinduan Tuhan. Atau mereka hendak mengikuti saudara iblis terkutuk. Yang terbuang dari syurga lalu merindukan kesesatan manusia sebagai teman bercengkrama, berjingkrak-jingkrak atau nonton bioskop twentyone untuk melihat film-film box office terbaru di neraka kelak.

Kerinduan itu pun menjelmakan Adam dan dialah kemudian yang menjawab sikap arogan malaikat.

Sebuah episode dalam gerimis rindu yang misteri.

"Maha Suci Engkau Yang Maha Mengetahui, mengajarkan apa yang kami tak fahami." Malaikat pun berucap lirih.

Pemuliaan Tuhan terhadap apa yang Dia rindukan pun telah menciptakan sejarah hitam pekat bagi sebagian yang lain. Sang perindu memang harus berkorban banyak hanya untuk sesuatu yang ia rindukan.

"Berikanlah penghormatan kepada Adam." Tuhan memerintah.

Maka setelah kalimat itulah kenikmatan manusia di syurga terancam. Kesombongan yang menyelimuti iblis merajalela dalam makar yang ia mintakan kepada Tuhan.

"Ijinkan kami untuk mencari teman dari manusia."

"Carilah semampumu"

Sebuah usaha yang dijalani sejak sumpah itu. Sumpah iblis terkutuk kadang lebih bisa dipercaya dibanding manusia jaman ini. Sementara angkara iblis membara, Adam merindukan melati sebagai pendamping menikmati kelezatan syurga.

"Percayalah, ini perintah Tuhan yang dititipkan kepadaku. Makanlah buah dari pohon khuldi itu"

"Maafkan kami Tuhan." Penuh penyesalan Adam dan Hawa memohon grasi.

Sebuah tipuan telah menjerumuskan manusia sehingga tak menyadari statusnya yang istimewa. Tuhan Maha Adil. Walaupun pada mulanya manusia sangat Dia rindukan tapi dalam hukum semuanya sama. Adam dan Hawa pun terdampar di dunia. Maka perhelatan pertandingan kehidupan dimulai dari sini. Manusia terombang-ambing dalam dua kerinduan. Kerinduan akan kebaikan dan kejahatan.

Grasi yang diajukan Adam dan Hawa karena pelanggarannya terhadap perintah Tuhan ditolak mentah-mentah. Keduanya harus puas dengan diasingkan dari syurga ke ring kehidupan yang dinamakan dunia. Pengasingan keduanya ke dunia sungguh sangat menyedihkan. Keduanya harus sabar menahan kerinduan-kerinduan yang menggelitik karena Tuhan menempatkan mereka secara terpisah. Resah gelisah menghantui.

"Oh Adam, linangan air mata tak cukup mewakili kehadiran dirimu."

"Duhai Hawa, kemana lagi akan kutuntun langkahku 'tuk mengais senyummu."

Tuhan kemudian menjodohkan mereka dalam pertemuan yang diskenariokan sendiri. Kerinduan Adam dan Hawa mempertautkan sempalan-sempalan syurga ke dunia.

"Biar Aku hadiahkan syurga-syurga mungil bagi kalian di dunia ini."

Syurga-syurga mungil itu kemudian diwariskan kepada kelompok besar anak cucu keduanya di belahan asia tenggara. Syurga-syurga mungil itu adalah bumi agung Indonesia.

"Nampaknya dari hamba-hambaKu yang pertama kali akan Aku perhitungkan kesyukurannya adalah orang-orang Indonesia. Indonesia adalah percikan syurga."

Manusia-manusia di belahan bumi yang lain mendengar desas-desus kalau Tuhan telah menurunkan percikan syurga ke dunia.

"Persiapkan pasukan kita. Kita akan bertolak ke asia. saya dengar Tuhan telah menaruh cipratan syurga di sana." Suara lantang raja kompeni Belanda.

"Percayalah kami adalah utusan Tuhan yang juga diwarisi syurga ini." Para pendatang merengek-rengek, merayu ahli syurga yang sah menurut tatanan hukum.

Sikap ramah dan kasian ahli syurga kepada tamunya sungguh sangat tinggi.

"Tak apa-lah kita nikmati bersama."

Tiga setengah abad lamanya tamu-tamu itu ternyata keenakan. Mereka enggan pulang ke rumah. Di sela waktu-waktu perjamuan yang lumayan lama itu, masyarakat ahli syurga diajarkan berbagai keterampilan. Termasuk bagaimana cara merampok yang cerdas. Yang tidak dirasakan perampokan oleh korbannya.

"Ini tamu kalau tidak kita usir lumayan juga. Kita telah miskin dibuatnya."

"Jangan gitu dong. Kita kan terkenal peramah."

"Tidak bisa. Kapan-kapan kita ramah lagi. Tapi sekarang ini dengan berat hati kita harus bertindak. Lagian syurga ini kan hadiah Tuhan untuk kita."

Baru saja tamunyaberhasil diuruh pulang, datang lagi yang lain.

"Maaf kami tidak menerima tamu lagi sekarang." Nipon ditolak. Tapi akhirnya, Nipon juga mampir sebentar. Sekedar ngobrol, minum kopi dan menghisap cerutu. Jamuan paling khas ahli syurga.

"Wah, sekarang kita tidak mungkin kedatangan tamu lagi. Di pintu sudah kita tulis: 'Tidak menerima tamu.' Mari kita nikmati syurga kita." Disambut riuh bahagia ahli syurga.

"Tolong syurga ini dibagi-bagi." Daulat kepala suku di republik syurga.

Ahli syurga kemudian hidup agak tenang. Walaupun kepala suku minta upeti dari seluruh dusun-dusun tak terlalu dipersoalkan.

"Kalau begini terus kita lama-lama akan mati. Ini kan bagian kita." Suara penduduk firdaus yang terkenal dengan sebutan Aceh.

"Ah, tidak bisa. Semua harus memberikan upeti." Keserakahan meliputi jiwa kepala suku.

"Jendral. Siapkan pasukan. Beri mereka pelajaran!"

"Siap, Bos. Semua akan dibereskan"

Kuliah pun dimulai. Pelajaran yang diberikan utusan kepala suku tidak bisa diterima oleh sebagian otak warga firdaus.

Aceh bergejolak. Suara-suara jangkrik, kokok ayam dan ringkikan kuda berganti suara senapan, bedil, dan raungan tank. Warga syurga ini menjadi prihatin. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun ada lidah yang lantang menentang maka esoknya lidah itu pun akan menjadi santapan semut. Ibu-ibu juga dipaksa menentang rasa berdosa kalau harus berbohong kepada anak mereka yang iseng bertanya.

"Bu, itu suara apa di luar rumah." Sang anak menanyakan batuk-batuk senapan perang saudara.

"Tidur saja nak. Itu nyanyian malaikat"

"Malaikat bernyanyi ya, Bu"

"Malaikat juga bernyanyi seperti Amin di sekolah." Hibur Bunda sembari menahan tetes air mata.

Keletihan jiwa telah melelahkan warga firdaus. Apakah yang dapat mereka lakukan? Hanya menjerit kepada Pemilik syurga itu. Sembab air mata yang bergumam di antara sujud dan sujud.

"Ya Allah. Hanya kepada-Mu aku berkeluh kesah. Apakah Kau tak tahu kalau aku merindukan kedamaian? Tuangkan kedamaian itu pada syurga ini. Damaikan, ya Allah."

Tuhan mendengar keluh-kesah hambaNya.

"Aku merindukan warga firdaus untuk menikmati kedamaian di sisi-Ku. Bagaimana kalau Aku utus tsunami untuk menjemput mereka ke syurga yang abadi."

"Jangan Tuhan. Apa nanti kata tetangga-tetangga mereka. Tuhan pasti akan disalahkan."

"Kalau dijemput pakai mercy, pesawat, atau yang lain nanti semua warga dunia mau ikut. Mereka kan senengnya yang gratisan."

"Tapi apa tidak ada cara yang lebih sopan, Tuhan. Aku khawatir ada yang salah sangka, mengatakan Engkau kejam."

"Mereka sudah rindu akan kedamaian. Aku tak mau basa-basi memberikannya. Biar juga yang lain tidak tahu kalau mereka ternyata Aku jemput ke syurga kedamaian yang kekal."

Dua kerinduan berkelindan membentuk panorama yang indah dan mempesona. Kerinduan Tuhan kepada hamba-Nya yang patuh juga kerinduan hamba akan kedamain dari Tuhan.

"Indonesia berduka. Tsunami menggasak Tanah Rencong." Headline sebuah surat kabar di bumi pertiwi. Hiruk pikuk, ratap tangis, dan jeritan nestapa manusia yang tak mengerti bahwa itu adalah jemputan Tuhan ke syurga. Para sastrawan, budayawan, rohaniawan, dan wan-wan yang lain sampai sariawan berdebat mengenai kasih Tuhan yang hanya satu diturunkan untuk di dunia. Bahkan tak sedikit yang menghujat.

"Tuhan memang kejam."

"Kenapa tidak Israel saja yang Kau kirimi tsunami, Tuhan."

"Aceh sudah sangat lelah, Tuhan. Setega itukah Kau Yang Maha Penyayang."

"Tuhan, apalagi yang Kau tumpahkan di Tanah Rencong itu? Apakah Kau tak melihat mereka telah lama menjerit dalam runtun kesedihan yang sangat? Apakah tak cukup operasi militer itu hingga Kau juga turun tangan mengirimkan duka yang pekat."

"Semestinya memang Tuhan harus menggantikan posisi kasih yang Tuhan turunkan ke dunia. Yang sembilan puluh sembilan itu di dunia ini dan yang satu di akherat agar tak terlalu banyak air mata yang tumpah ruah."

"Tuhan, air mata ini bukanlah basa-basi."

Segenap celoteh-celoteh berkumandang.menggema diantara sisa puing bangunan dan ceceran bangkai ahli syurga yang akan pulang ke syurga masing-masing.

Jemputan tsunami itu telah membuat kepala suku di induk syurga kalangkabut. Baru sekian detik menduduki singgasana sudah direpotkan oleh siluit kerinduan Tuhan kepada hambaNya

"Mari kita bangun kembali syurga kita yang terserabut."

"Tolong jangan salahkan Tuhan lagi, kita harus introspeksi.”

"Ya Allah. Ampuni hamba."

"Wah, gile banget. Tuhan memang keren, gue nggak ngebayangin deh sedahsyat itu."

Preman-preman pasar ikut ambil bicara.

Gerimis rindu Tuhan dalam episode yang misteri

"Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Hiduplah dalam kedamaian yang kekal di syurgaKU."

"Selamat tinggal duniaku yang penat." senandung jiwa-jiwa itu menuju kedamaian syurga firdaus di sisiNYA

Kairo 30 Januari 2005

5 comments:

Agus romli said...
This comment has been removed by the author.
Agus romli said...

leo tulisanmu memang diakui di dunia, alur ceritanya tajam seperti pisau, tulisanmu memikat hati orang lain. Seandainya kamu wanita, tak tanggung2 aku sudah pasti ngawini kamu. Sayang kamu seorang laki2 yang tajam :D

-Filantropy- said...

Kenapa kau mendelete comment yang kedua itu, Leo?! Adapakah di sana...

DeMIS said...

pokoknya, sebelum kamu cabut, aq minta dari kenang-kenangan yang paling kau sukai... :D

uzk said...

salam balik, mas. tulisan-tulisan mas prosais sekali.

asyik buat dibaca.