Saturday, August 30, 2008

Anjing-anjing yang Menggonggong di Telinga Alung

Di suatu pagi buta, Tuan Menjinjing Bumi melihat tiga ekor anjing meloncat keluar dari kamar Alung melalui jendela. Pagi masih sepi dan bau tanah. Embun membasah dan matahari belum memerah.

"Tolong...Tolong..." Tuan Menjinjing Bumi berteriak. Suaranya membelah ceruk damai sebuah pagi. Warga kampung Montong Tangis berhamburan keluar. Kaget. Ada apa gerangan? Pagi-pagi begini, jeritan menusuk telinga. Mengganggu anak-anak yang masih lelap dalam tidur saja.

"Alung. Alung cucuku. Anak yang malang," ucap Tuan Menjinjing Bumi terisak-isak sambil mengusap selaut air mata di wajahnya.

"Kejar anjing-anjing itu," lanjut Tuan memerintah. Dan warga kampung yang semula bengong menonton Tuan Menjinjing Bumi seperti kesetanan berlari. Tiga ekor anjing yang mereka kejar juga berlari secepat kilat. Pagi yang riuh. Para petani tak jadi pergi ke sawah. Dan karena hari Minggu, maka anak-anak sekolah dan guru-guru, juga pegawai negeri, menikmati hari libur dengan tangis dan air mata. Aduh...mengapa pula kematian harus ditangisi?

Sementara kaum laki-laki riuh-rendah mengejar tiga ekor anjing, ibu-ibu dan anak-anak perempuan berhamburan ke kamar Alung. Jerit tangis dan isak duka lara menyayat hati. Alung! Ah andai lidah dan telinga dipelihara dengan baik oleh manusia, tentu nasib buruk tak akan selalu bernyanyi untuknya.

Kamar Alung beraroma amis darah. Mengalahkan bau kotoran dan kencing yang berceceran di sekitar kamar itu. Sekujur badan Alung bersimbah darah. Di lantai keramik yang mengkilat, di dinding kamar yang putih bersih, merah darah segar membasah. Oh anjing-anjing itu! Mengapa pula ia tidak disayangi supaya tidak buas? Supaya hidupnya tidak menjadi racun bagi manusia. Supaya tingkahnya tidak mengundang dendam kesumat di hati warga. Tapi penyesalan, sungguh, tidak pernah menghasilkan apa-apa. Kecuali hanya menambah beban derita.

*****

"Auuu...Auuu...Auuu..." suara Alung melengking. Meniru serigala mengaum di tengah malam. Itu artinya Alung sedang sakau. Berada dalam bayang-bayang yang seram. Mata Alung nyalang. Seperti sorot mata singa gurun nan jalang. Air liur Alung menetes dan tangannya menengadah menyambut. Alung lantas meminum air liurnya sambil tertawa cekikikan. Dan dalam keadaan biasa, Alung pun akan menggonggong layaknya anjing buas. "Guk...guk...guk. guk...guk."

Alung mengalami gangguan sejak Randu, ayahnya, pulang dari Saudi. Semula Alung biasa-biasa saja. Di kampusnya ia adalah aktivis. Tapi seminggu setelah kepulangan Randu sikapnya mulai berubah. Bicaranya tidak karuan dan sebagian besar kata-katanya adalah kutukan terhadap anjing.

"Anjing sialan! Anjing kurang ajar. Kerjanya hanya menggonggong. Guk...guk. Hahaha."

"Ada apa dengan anjing?" tanya Segara yang tidak sadar akan perubahan yang terjadi dalam diri Alung.

Maka Alung akan bercerita dengan antusias.

"Aku mendengar anjing menggonggong setiap saat, setiap waktu. Telingaku tidak bisa mendengar apa-apa. Anjing-anjing itu menggonggongi ayahku. Aku tidak tahu kenapa ayah digonggong. Tapi kata kakek, bau ayah seperti bangkai," terang Alung serius.

Keadaan Alung semakin parah. Di kampusnya, Alung tidak malu-malu buang air besar di tengah lapangan ketika seekor anjing nyelonong masuk. Aku ingin anjing itu makan kotoranku supaya kenyang dan diam. Aku ingin anjing-anjing itu tidak terus-terus mengonggongi Ayah. Begitu kata Alung ketika keamanan kampus membawanya ke kantor. Akhirnya semua orang tahu, Alung tak lagi normal. Ada yang tidak beres dalam diri Alung. Pihak universitas kemudian memanggil Tuan Menjinjing Bumi. Menerangkan keadaan Alung.

"Demi kelancaran kegiatan kuliah, kami mohon bantuan Bapak. Alung tidak bisa kami tangani. Dan baiknya, Alung istirahat untuk sementara."

"Saya mengerti," jawab Tuan, kakek Alung, sambil terisak.

Maka Tuan Menjinjing Bumi membawa Alung pulang kampung. Tapi tidak serta merta keadaan Alung kembali normal. Yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan Alung kini mengubah perilakunya persis seperti seekor anjing. Bila lapar mendengus-dengus. Ketika minum tidak mau memakai gelas. Tapi diberikan di sebuah ember besar. Alung pun akan memasukkan kepalanya kemudian minum glek...glek...glek. Makan juga tidak lagi pakai tangan atau sendok. Alung menundukkan kepala kemudian mulutnya yang kumuh dan bau menyeruput hidangan di piring dengan lahap. Alung juga telah lupa cara buang air. Maka dia buang saja seenaknya, di mana saja dia mau.

*****

Ketika Randu pulang dari Saudi, Alung sedang liburan. Alung menemani Sasmita, ibunda tersayang, di rumah. Sejak kepergian Randu, Sasmita memang selalu gelisah. Apalagi sejak dua bulan Randu tak jelas ada di mana. Dia ditangkap polisi Saudi kemudian dibui. Setelah itu, sepi. Tak ada kabar berita yang sampai pada Sasmita tentang sang suami. Wanita itu pun menjadi setengah gila. Karena itu, ketika liburan, Alung memilih pulang daripada ikut tamasya ke pulau madu, Sumbawa. Duhai...Pemilik Segala, di wajah Alung, air mata Sasmita, menjelma badai pasang yang menenggelamkan seketika.

Dua hari Randu di rumah, keadaan jadi bergairah. Di rumahnya yang beberapa waktu sempat bisu itu, kini sudah terdengar gelak tawa yang renyah. Dua pagi juga, rambut Sasmita yang menjuntai sampai ke betisnya, kelihatan selalu basah. Bahkan ketika tamu sedang tak ada, Randu dan Sasmita, seringkali menyelinap masuk kamar. Dan Alung hanya bisa tersenyum melihat tingkah kedua orang tuanya. Seperti pengantin baru saja, begitu komentarnya.

Tetapi di hari ketiga semuanya berubah. Rambut Sasmita tak basah. Mukanya merah. Sedang wajah Randu, serupa panglima perang yang pulang dalam keadaan kalah.

“Siapa wanita yang datang semalam?” tanya Sasmita tanpa menoleh sedikit pun pada suaminya.

“Dia itu teman kerja di Saudi.”

“Teman kerja?”

“Iya. Teman kerja. Kamu kok seperti orang curiga saja.”

“Siapa tahu?” suara Sasmita menggantung. “Mita cuma bertanya. Mita cuma ingin penjelasan dari Mas.”

“Semua kan sudah jelas. Penjelasan apa lagi yang kamu maksud?” nada bicara Randu sedikit terangkat.

“Mas nikah dengan wanita itu? Mas telah ceraikan Mita dari jauh sana?”

Senyap. Percakapan tidak berlanjut. Tetapi sepasang suami-istri yang dua hari kemarin menjelma pengantin baru itu menjadi canggung. Mereka lebih banyak diam. Hidup pun menjadi sedingin kutub utara.

Dan yang terjadi, kemudian terjadilah.

*****

Malam lelap. Suara lindap. Rembulan lenyap.

Di kamarnya, yang pintunya berhadap-hadapan dengan pintu kamar kedua orang tuanya, Alung asyik mengupas mangga. Dimakannya dengan lahap mangga yang ia petik tadi sore.

“Mita hanya bertanya, wanita itu siapa?” sebuah tanya terdengar. Membuat Alung mengernyitkan dahi, menajamkan pendengaran.

“Mas kok diam saja? Jawab, Mas. Jawab!” Sasmita menangis.

“Saya sudah bilang dia cuma teman kerja. Mana mungkin saya menikahinya.”

“Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin.” Tangis Sasmita semakin keras.

Randu hanya diam. Dan kata-kata Sasmita kembali menghujan.

“Mas menikah dengan wanita itu sangat mungkin. Mas pergi bersamanya. Dan itu Mas sembunyikan pada Mita. Mas pergi dibiayai dia. Paspor Mas gandeng dengan dia. Mas bilang ditangkap, dipenjara. Tapi setelah dipulangkan ke Jakarta, Mas tinggal bersama dia. Mas tidak pernah menelepon Mita.”

“Cukup Mita! Kamu sudah mulai kurang ajar.”

“Mita tidak pernah kurang ajar, Mas,” Sasmita sesenggukan. “Mita menuruti semua keinginan Mas. Mita sudah sangat sabar, Mas. Mita maafkan, ketika Mas selingkuh dengan anak tetangga di depan mata. Mita maafkan ketika Mas sering telat pulang karena mengencani si jalang penjaga toko itu. Mita rela tak punya apa-apa asal Mas puas. Merokok tak habis-habis. Belanja ini-itu. Makan enak-enak bersama teman. Mita sangat sabar, Mas. Tapi mendengar cerita tentang Mas dengan pelacur yang semalam, Mita jadi ingin muntah.”

“Ngomong apa-apaan kamu, Mita!”

“Mita sudah tahu semuanya. Semua orang bilang begitu.”

“Tunggu! Kamu dengar dari siapa kalau pasporku gandeng? Itu semua fitnah, Mita.”

“Mita dengar dari pak kades. Mita dengar dari pak camat. Mita dengar dari semua orang!”

Mita bangkit dari duduknya hendak keluar kamar.

“Mau kemana kamu?”

“Mau pulang ke rumah ayah-ibuku!”

Randu meloncat dari kasur mencoba meraih tangan Mita. Mita mengelak. Alung yang dari tadi mendengar perang dunia ketiga bangun dari tempat duduknya. Alung lupa menaruh pisau yang ia gunakan mengupas mangga tadi. Mita yang dikejar Randu membuka pintu dengan tergesa dan hendak berlari kencang. Dalam waktu bersamaan Alung keluar dari kamarnya. Mita pun tak bisa menahan beban badannya dan pisau itu mengenai dadanya.

“Aaaaa....” Sasmita menjerit dan darah mengucur deras.

*****

Sasmita masih tergolek di rumah sakit ketika masa liburan telah habis. Alung pergi dalam perasaan linglung. Randu menjadi sangat pendiam. Tatapannya kosong. Sementara cas-cis-cus menyebar seperti kapuk yang diterbangkan angin.

“Jadi benar dia ceraikan Mita?”

“Mungkin saja.”

“Randu merusak rumah tangga Bunga? Atau sebaliknya?”
“Dulu Randu juga hampir nikah dengan tetangganya. Si Mita waktu itu tahu. Tapi Mita sangat mencintai Randu. Jadi dia dimaafkan.”

“Randu ke Saudi buat jalan-jalan bareng Bunga aja kali.”

“Alung mau bunuh ayahnya. Tapi yang kena ibunya.”

“Mita sekarang gila. Dia di rumah sakit jiwa.”

“Randu itu baik. Nggak mungkin berbuat seperti itu.”

“Dasar si Bunga pelacur murahan. Merusak rumah tangga orang saja.”

“Kalau tak ada api, nggak mungkin ada asap.”

Cas-cis-cus yang lain kemudian datang silih berganti. Menjadi nyanyi yang mengisi sunyi.

*****

Entah bagaimana ceritanya, belum seminggu di rumah sakit jiwa Irok Asek, Alung sudah dipulangkan. Kata dokter, Alung tidak apa-apa. Malah Alung sangat sehat. Tapi kenyataannya, Alung wafat mengenaskan.

Sore itu Alung kembali ke Montong Tangis. Tatap kasihan dari mata tetangga menyambutnya. Alung masuk kamar. Ketika adzan magrib berkumandang, Alung membuka jendela kamarnya. Dia ke dapur mengambil ayam bakar dan ikan goreng. Randu tak di rumah. Sudah beberapa hari, Randu tinggal di masjid. Tuan Menjinjing Bumi pun segera bergegas ke masjid untuk salat. Setelah salat isya, Tuan Menjinjing Bumi tidur-tiduran di teras masjid. Tapi ternyata Tuan ketiduran sampai pagi.

Di kamar, Alung melayani tiga ekor anjing dengan senangnya. Ia ambilkan semua makanan yang ada di dapur. Alung pun ikut makan. Layaknya empat orang kawan yang sangat akrab, selesai makan Alung dan tiga anjing itu pun buang kotoran sam-sama. Ketiga anjing itu rebutan kotoran Alung, Alung pun menjadi sangat puas.

“Makan yang kenyang supaya tidak menggonggong,” ucap Alung sambil mengelus anjing itu.

Karena lelah dan kenyang Alung beserta tiga anjing itu pun tertidur. Tapi setelah subuh Alung terbangun kaget karena ketiga anjing itu menggonggong nyaring. Alung segera lari ke dapur. Tapi karena makanan telah habis kecuali sayur dan tomat, Alung pun mengambil pisau.

Alung ke kamarnya. Anjing-anjing itu mengendus manja.

“Sabar,” kata Alung sambil memotong telinga kirinya. Alung meringis. Alung menangis. Alung tertawa.

"Hahaha...mampus kau telinga setan. Aku tak akan mendengar anjing mengonggong lagi," teriak Alung sementara darah mengucur membasahi sekujur tubuhnya. “Makan yang kenyang anjing, supaya kau tak menggonggong lagi.”

Kini telinga kanan, dipotongnya cepat-cepat kemudian ia berikan pada anjing yang satunya. Karena seekor lagi belum dapat bagian, Alung menjulurkan lidah. Ia potong setengah lidahnya, dan anjing itu pun menyambut kemudian meloncat satu persatu melalui jendela.

Darah merembes. Darah mengalir deras. Suara Alung mengerang seperti sapi di sembelih. Randu masih berdzikir di masjid, sementara Mita menyanyi-nyanyi di rumah sakit jiwa.

Kairo SaQar Quraisy Rabu 01:29 26092007

1 comment:

elm said...

ceritanya bagus bro....

---
Jika Anda membutuhkan info tentang kampus STMIK silahkan klik website kami di http://jak-stik.ac.id