Saturday, August 30, 2008

Mariyuana

Musim dingin yang kejam. Suasana mencekam. Badai gurun sahara bertiup kencang membuat badanku menggigil. Tiga lapis baju dan jaket tebal yang membungkus tubuhku seakan tidak ada gunanya. Dingin menusuk, merasuk ke sum-sum tulang. Darahku serasa berhenti mengalir seperti membeku. Bibirku membiru. Telapak kakiku perih karena pecah-pecah seperti tanah di musim kemarau panjang. Gurun sahara porak-poranda. Debu-debu beterbangan. Sampah berserakan.

Aku berdiri dengan malas di mahattah[1] Mutsallast menunggu bis yang entah kapan akan datang. Menunggu bis adalah pekerjaan yang paling memuakkan dan menjengkelkan di Kairo ini, selain tentu saja budaya antri dan jam karet di setiap urusan. Sial! Rutukku dalam hati.

Kertak bunyi gigiku menahan dingin. Bis belum juga datang padahal aku sudah menunggu selama sejam lebih. Tuhan, Kau sungguh-sungguh iseng membuang aku ke negeri Firaun ini, keluhku. Aku geleng-geleng kepala dan tersenyum kecut mengingat kata-kata orang Mesir, "Misr ummul hadharah. Misr ummud dunya." Mesir pusat peradaban. Mesir, ibunya dunia. Alangkah lucunya! Bahkan untuk mendapatkan bis saja kalian menyiksaku sampai kaki pegal linu.

Kulihat matahari yang bersembunyi di balik awan tebal. Rupanya dia juga sedang bermain petak umpat dengan musim. Di Kairo ini tak ada petir bermain-main. Kalaupun ada, dia datang bukan hendak mengantar hujan. Langit pucat pasi!

Akhirnya bis yang kutunggu datang juga. Bis enam puluh lima putih jurusan Sayyidah Zainab. Aku hendak pulang ke Maditul Buuts Al-Islamiyah, asrama mahasiswa asing di daerah Darrasah. Semalam aku bertandang ke rumah Koci di wilayah Saqar Quraisy. Ada haflah[2] karena dia baru datang dari Indonesia setelah liburan akhir semester kemarin.

Wah, sepertinya aku dapat duduk sekarang, pikirku. Kulihat dari jauh bis sepertinya kosong. Mendapat tempat duduk rasanya seperti bertemu malam lailatul qadar saja di Kairo ini. Aku sudah tinggal selama dua tahun di kota ini, dan aku bisa menghitung dengan jari berapa kali aku mendapat tempat duduk jika naik bis. Teman-teman bahkan sampai bilang, "Jika kalian tinggal di Mesir selama empat tahun, dua tahun umur kalian gunakan untuk berdiri. Menunggu bis, di dalam bis, antrian di mana saja, bahkan kadang di ruang kuliah di kampus al-Azhar juga berdiri. Manusia benar-benar sesak!"

Begitu bis mengerem di depanku, aku langsung loncat. Aku harus bergerak cepat karena bis hanya lewat. Tidak menunggu penumpang seperti yang terjadi di negeri antah berantah, Indonesia.

Kuedarkan pandangku untuk mencari kursi. Blas! Semuanya telah terisi. Hanya aku seorang yang berdiri. Ternyata dugaanku salah. Ini benar-benar sial! Bis berjalan. Pikiranku melayang ke mana-mana sampai lupa membayar ongkos.

"Ya basya, ugrah fen?"[3] kondektur yang duduk di samping pintu belakang berteriak padaku dengan bahasa Arab pasaran. Kurogoh sakuku sebelah kanan. Kosong! Kupindah pada yang kiri. Ternyata sama. Melompong! Aduh, bagaimana ini? Semoga di dompetku ada. Kubuka dompet lusuh bergambar Black Cobra. Sip, ada dua pound.[4] Cukuplah buat membawaku ke Buuts sana. Kuberikan selembar satu pound pada kondektur.

"Nazil fel, ya Malaziya?"[5] Orang-orang Mesir memang susah sekali membedakan antara orang Indonesia dengan Malaysia.

"Ana musy Malaziya, Ana Indunisi, ya ammu. Khalli balak min lisanak!"[6] kataku tanpa beban. "Ana nazil Buuts, insyaallah," lanjutku lagi menerangkan padanya bahwa aku akan turun di Buuts.

"Ma'lesy. Wallahi, ana musy arif far' baina Malaziya wa Indunisi. 'Alsyan, syakluhum huwa huwa."[7] Kondektur minta maaf penuh penyesalan sambil memberikan kembalian setengah pound. Aku menerimanya dengan cuek. Memandang jalanan yang dipenuh-sesaki kendaraan. Mobil pribadi bersliweran. Eltramko[8] melaju ugal-ugalan tanpa merasa berdosa jika nanti menyerempet mobil lain. Seorang pemulung menunggang keledai yang dibebani dua karung barang bekas di punggungnya.

Tak ada lagi penumpang yang naik. Tumben, pikirku. Tapi penumpang yang turun juga tak ada. Aku masih berdiri. Bis melewati daerah Gami'. Aku merasakan nyeri yang sangat di kepalaku. Seperti ada yang menusuk-nusuk. Aku tak ambil peduli.

Bis memasuki wilayah Bawwabah Ula. Kepalaku semakin nyeri. Sakit sekali. Aku mencoba melawannya. Mataku memerah. Otot-ototku seperti menegang. Rasa mual menyerang. Perutku seperti dikocok. Aku ingin muntah. Kupaksa diri menelan ludah. Napasku turun-naik terengah-engah. Bis terus melaju. Kondektur sibuk menghitung uang. Penumpang yang lain tak kalah sibuk dengan diri sendiri. Mereka tidak tahu atau pura-pura tak tahu keadaanku. Entahlah! Aku juga tak mau mengiba minta dikasihani.

Kusandarkan punggungku. Tanganku erat menekan perut. Buku Sejarah Sastra Arab Jahili, diktat kuliah yang kubawa kukepit di ketiakku. Tenaga semakin berkurang. Aku benar-benar lemas dan tak kuat lagi. Mahattah berikut aku harus turun, pikirku. Aku menyerah!

Aku meloncat turun, begitu bis berhenti di mahattah Zuhur di depan kantor perusahaan minyak Enpi. Aku mencari air di kusyk.[9] Tapi nihil! Ternyata tutup. Kuberanjak ke bangku mahattah. Tiga orang Mesir sedang duduk di sana.

"Lau samah," kataku permisi. Mereka bergeser memberikan aku tempat duduk. Aku menunduk lesu. Tanganku masih memegang perut. Ibu di sampingku memadang heran.

"Kamu kenapa? Kamu kelihatan sakit," dia bertanya iba.

"Semalam saya tidak tidur. Saya begadang," jawabku. Dia melihat buku yang kukepit di ketiak.

"Boleh saya lihat?" katanya mengambil bukuku. "Sejarah Sastra Arab Jahili. Kamu mahasiswa al-Azhar," lanjutnya bertanya. Aku menganggukkan kepala. Lamat kudengar dia membaca bukuku. "Bahasa Arab 'Adnan adalah bahasa Arab yang digunakan dalam puisi dan prosa Arab Jahili, juga dengan bahasa inilah Al-Quran diturunkan. Bahasa ini adalah bahasa yang paling dekat dengan bahasa bangsa Sam kuno...." Aku tak mendengar apa-apa lagi. Yang kurasakan, ibu itu kemudian merangkul tubuhku yang jatuh tergeletak tak berdaya.

*****

Pelan kubuka mataku. Badanku lemas. Tenagaku lenyap terkuras entah kemana. Aku berbaring kaku menatap pakaian putih yang membungkus seluruh tubuhku. Aku ingin bergerak tapi tak kuat. Tuhan, apakah aku sekarang sudah berada di surga? Tidak! Kulihat selang infus bergelantungan di sampingku. Bau obat merasuk ke hidungku. Jantungku berdetak perlahan. Kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Aku masih bertanya-tanya mengapa aku berada di sini?

Seseorang dengan pakaian serba putih, berkaca mata, masuk menghampiriku. Aku menatapnya lemah.

"Alhamdulillah, dzil wakti anta kuwais.[10] Bagaimana perasaanmu?" tanyanya. Aku hanya diam. Ingin kujawab tapi lidahku masih kelu. Bibirku masih berat untuk kugerakkan.

"Thayyib.[11] Sekarang kamu istirahat saja supaya tenagamu pulih dan normal kembali," katanya sambil menutup tabir tempat tidurku. Mataku perlahan mengatup. Aku tertidur.

Ketika terbangun dari tidurku, ruangan sunyi senyap. Aku benar-benar bersedih. Aku merasa kematian begitu dekat denganku. Tuhan, kalaupun aku akan mati, aku ingin mati di pangkuan ibuku. Supaya tenang jiwaku karena hati ibu penuh seluruh mengikhlaskan aku pulang ke pelukan-Mu. Sebagaimana ibu menerimaku dulu dengan senyuman, aku ingin ibu mengantarku pada-Mu juga dengan senyuman. Ya Allah, maafkan aku. Aku benar-benar menyesal. Seandainya saja aku tak menjalani hidup seperti ini. Tapi waktu tak pernah berjalan ke belakang. Seperti juga aku menyebut seandainya untuk hal-hal yang telah lewat dan tak mungkin kembali.

Air mata hangat mengalir di pipiku. Aku merasa sangat berdosa. Di tempat jauh, di rantau tandus ini, kini aku tergeletak tak berdaya. Tak ada siapa-siapa. Malam itu aku terlalu banyak menghabiskan snack.[12] Blue ice[13] oleh-oleh Koci benar-benar membuatku lupa daratan. Hingga ketika naik bis siang itu, aku mengalami jackpot. Aku tumbang tak bergeming. Dan sekarang begini jadinya. Aku benci diriku, aku berteriak dalam hati. I hate my self. I hate my self. I hate my self. Tuhan, maafkan aku. Ayah, Ibu, kak Anjani, Alang, maafkan aku yang tolol ini. Kakek, Nenek, lihatlah cucumu yang tak tahu diri ini. Seharusnya aku bicara pada kalian sejak dulu. Tapi aku egois. Aku menuruti nafsuku sendiri. Air mataku semakin deras mengalir. Pikiranku menerawang jauh ke masa lalu. Pulang ke gubuk kecil di daerah tandus di pulau Lombok. Kampung halamanku tempat semuanya dimulai. Kata orang, sikap dan perjalanan hidup seseorang di tentukan oleh masa kecilnya.

*****

Matahari bangkit dari pembaringannya. Kokok ayam mulai ramai. Mereka telah tersebar ke pelataran kehidupan setelah semalam suntuk beristirahat. Kicau burung bernyanyi menyambut pagi dengan riang. Angin bertiup perlahan membuat embun yang menggelantung di daun-daun berjatuhan ke tanah. Tanah menerimanya dengan suka cita lantas menyebarkan bau harum mewangi seperti sehabis tersiram gerimis. Cacing yang tersesat meliuk-liuk mencari tempat basah, tanah humus sebagai persembunyian melanjutkan hidup. Seekor itik besar, yang berjalan lamban karena berat badan yang tak berimbang, menemukan cacing yang malang kemudian melahapnya dengan riang.

Pucuk gunung Rinjani di ujung utara pulau Lombok gagah perkasa. Meruncing serupa keris hendak menggalah langit jauh. Awan-awan putih berserakan. Sekelompok burung merpati terbang di kaki langit menikmati pagi yang cerah. Pohon-pohon turi di sawah telah berbunga membuat burung berwarna kuning, kecian combo kerasan berdiam lama, menghisap kandungan madu yang tersimpan padanya. Kacang panjang dengan aneka warna berbuah subur. Kecipir masih menunggu pertengahan musim kemarau baru berbunga. Ketika sayur-mayur yang lain telah habis, barulah ia berbuah dan bisa dinikmati hasilnya. Seakan-akan mengerti kebutuhan manusia yang tak pernah selesai.

Aku tinggal di rumah sederhana. Hanya punya satu kamar tempat aku, kak Anjani, dan adikku, Alang, tidur bersama. Ayah dan Ibu menyulap kamar tamu menjadi tempat tidur. Ranjang dan kasur diberi korden dan jadilah ruang itu sebuah kamar tidur. Pintu rumah kami menghadap timur. Jika pagi datang, sinar matahari tembus ke kamar.

Aku terbangun dari tidurku karena sinar matahari menyilaukan mata. Aku meloncat dari ranjang, berdiri di bawah pohon kelapa di samping rumah dan mengeluarkan kulup lalu kencing sampai puas. Ccrrrrr. Semut-semut yang sedang beriringan berjalan membawa sebiji beras kocar-kacir. Aku tersenyum memandangnya. Jauh di sebelah timur, terdengar suara anak-anak kelas satu yang sedang belajar membaca. Ibu Maimunah mengajar anak-anak dengan sangat sabar. Kak Anjani juga ada di sana.

"Ini ibu Budi," suara ibu Munah berteriak. Anak-anak kemudian mengikuti. "Ini ibu Budi."

"Ibu, ini Budi. Budi, ini Ibu. Ini Budi, Ibu. Ibu Budi ini," kataku meniru. "Hahaha, kasihan sekali Budi dan Ibunya," lanjutku.

"Segara. Segara, ini ada jambu," Nenek memanggilku. Aku punya pohon jambu di kebun belakang. Jika berbuah aku senang sekali memetiknya.

Aku berlari menghampiri Nenek. Alang menangis di gendongannya. "Inaq. Inaq. Inaq.[14]" Air matanya berlinang. Aku langsung mengambil sepotong kayu untuk memukul buah jambu itu sampai jatuh. Aku membersihkannya kemudian memberikan Alang. Dia pun diam melahap buah jambu itu. Mungkin Ibu belum memberikannya menetek sebelum pergi tadi, pikirku.

Kuusap mataku tengan kedua telapak tangan. Tanpa cuci muka, tanpa sikat gigi, aku menghambur ke dapur dan menemukan kmek tanak[15] yang penuh dengan ubi rebus. Kumakan dengan nikmat. Aku tidak peduli kotoran mataku yang masih menempel. Tidak peduli juga pada bau mulut dan bekas liur di pipi. Setelah menghabiskan tiga buah, kuambil tiga lagi, kubungkus memakai bajuku dan kubawa berlari. Aku mau pergi ke sekolah menemui kak Anjani dan bermain-main di sana. Di rumah sunyi sekali.

"Segara, mau kemana kamu?" Nenek bertanya begitu melihat aku keluar dari dapur dan berlari ke pematang besar yang berfungsi sebagai jalan utama. Aku berhenti sejenak. Memandangi nenek dan Alang. Adikku sedang asyik bercengkrama dengan ayam-ayam.

"Tiang[16] mau pergi ke sekolahan. Kak Ani pasti sudah lapar di sana. Tiang mau mengantarkan sarapan," jawabku sambil menunjukkan bajuku yang berisi ubi rebus. Serta merta aku berlari. Pelor, anjing kesayangan Kakek, membuntuti dari belakang.

Sepanjang perjalanan kutimang-nimang ubi yang kubawa. Kuelus-elus perut yang masih terasa lapar. Tapi kuurungkan keinginanku makan ubi yang kubawa. Kuingat kak Anjani. "Kakak pasti tidak sempat sarapan tadi pagi," pikirku. Pelor mengibas-ngibaskan ekornya, menjulurkan lidahnya sambil memandang iba seperti minta dikasihani. Kuberikan setengah ubi rebus itu, "Nih, kamu makan biar kenyang," kataku sambil kulahap setengah yang lain. "Yang dua ini untuk kak Anjani. Nggak boleh dihabiskan. Kakak belum sarapan tadi pagi." Kataku melanjutkan perjalanan. Kuusap rumput yang masih basah. Mencari tetes embun untuk membersihkan wajahku.

Kak Anjani sedang duduk menjual jagung rebus ketika aku sampai di sekolah. Aku mengintip dari balik pagar pohon bluntas. Aku bersedih melihat kak Anjani yang tidak bisa bermain seperti teman-temannya.

"Kak. Kak Ani," panggilku pelan. Kak Anjani menolah-noleh. Aku kemudian masuk melalui celah pagar yang tak ditumbuhi bluntas. "Kakak sudah sarapan? Ini saya bawakan ubi rebus." Kuberikan ubi yang dibungkus dengan bajuku.

"Ya ampun, Dik. Terima kasih iya. Ini untuk kamu satu." Kak Anjani mengusap rambutku.

"Kakak saja. Saya sudah sarapan tadi di jalan sama Pelor. Itu dia menunggu di luar. Kakak tadi mempelajari apa di kelas?"

"Menggambar."

"Kakak menggambar apa?"

"Menggambar bebek. Kakak ingat bebek yang di sawah-sawah ketika pulang pergi sekolah. Makanya kakak gambar bebek. Kalau Segara nanti mau gambar apa?"

"Saya mau gambar Pelor, Kak. Kakak ajarin saya menggambar iya."

"Iya, Dik. Nanti kakak ajarin."

Satu persatu siswa datang membeli jualan kami. Kini di tangan kak Anjani ada selembar seribu rupiah dan dua lembar merah pecahan seratus. Ketika teman-temannya asyik main kelereng, loncat karet, atau main slodor,[17] kak Anjani hanya menonton di pinggir lapangan menjual jagung rebus. Tanpa menjual jagung, kakak tak akan punya uang belanja setiap hari. Apalagi jika mau membeli buku. Kata Ibu, uang itu juga harus ditabung karena kami akan dibuatkan rumah baru.

Lonceng berdentang dua kali tanda waktu istirahat sudah habis. Di nampan kini masih tergeletak dua buah jagung rebus.

"Dik, kamu bawa uang dan nampan ini iya. Kakak mau masuk sekolah. Adik tunggu di sini." Kak Anjani memasukkan uang seribu dua ratus hasil jualan jagung ke saku bajuku. Baju yang dipakai membungkus ubi tadi kini sudah aku kenakan. Kak Anjani masuk kelas. Aku menunggu di luar. Kutatap kakakku melalui jendela kawat. Aku tersenyum lega begitu kak Anjani memandang ke arahku.

Ketika pulang kami berlari-lari dengan riang. Menyusuri pematang-pematang sawang yang membentang. Belalang berloncatan. Burung menari di mana-mana. Sekawanan burung nuri melayang-layang di angkasa. Rumput tak lagi basah karena sinar matahari sudah memancar panas. Angin bertiup membuat daun melambai-lambai seperti tangan seorang gadis yang ditinggal pergi orang tercintanya. Suara katak menjerit. Seekor ular hijau melintas membuat kami kaget seketika.

"Teman-teman yang rumahnya di pinggir jalan enak sekali iya, Kak. Di sana tidak ada ular," kataku.

"Lebih enak kita. Di sawah tidak ada suara mobil yang lalu-lalang. Kamu tahu, Dik. Waktu aku nginap di rumah Bibi, aku nggak bisa tidur."

"Iya juga." Kataku mengangguk-anggukkan kepala. Sambil jalan kami makan dua buah jagung rebus sisa jualan tadi. Aku makan setengah karena Pelor menjulurkan lidahnya. Ketika kuberikan jagung itu, serta-merta dia melenggak-lenggok kegirangan. Kami tidak pernah terlambat pulang karena kak Anjani harus mencuci perabotan masak, setelah itu menanak nasi jika Nenek belum menidurkan Alang. Biasanya, selain menjaga Alang, Nenek juga masak buat kami. Kami tidak pernah menonton tv karena yang punya tv di kampung hanya kepala sekolah. Ibu tidak pernah mengijinkan kami nonton tv. "Belajar saja yang baik," kata Ibu selalu. Besoknya, kami akan mendengar cerita filem yang ditonton teman-teman. Kata mereka, menonton itu enak sekali.

*****

NB: Ingin sekali melanjutkan tulisan ini. Doakan suatu hari kelak akan ada judul novel, "Mariyuana."


[1] Halte bis (Bahasa Arab)

[2] Pesta.

[3] Tuan, ongkos Anda mana? Ya basya adalah kata sapa. Berasal dari bahasa Turki yaitu pasha. Selain itu terdapat juga kata sapa yang lain seperti, ya kaften, ya bren (Prince: bahasa Inggris), ya ammu.

[4] Mata uang Mesir. Satu pound sama dengan seratus pister. Dalam bahasa Arab disebut Gunaih.

[5] Kamu turun di mana, orang Malaysia?

[6] Saya bukan orang Malaysia. Saya orang Indonesia. Hati-hati dengan lidah Anda!

[7] Maaf. Demi Allah, saya sama sekali tidak tahu perbedaan antara orang Malaysia dengan Indonesia, karena tampangnya sama saja.

[8] Angkutan kota.

[9] Warung kecil berbentuk lemari. Biasanya terdapat di halte-halte bis.

[10] Segala puji bagi Allah. Sekarang kamu sudah baikan.

[11] Baiklah.

[12] Bahasa gaul untuk menyebut barang laknat, narkoba.

[13] Jenis shabu paling bagus. Shabu nomor satu.

[14] Ibu (Bahasa Sasak; Lombok)

[15] Semacam gerabah tapi berukuran kecil, digunakan untuk masak.

[16] Saya.

[17] Gobak sodor.

6 comments:

Kireina said...

Artikelnya berat banget bro... tapi nice blog kok.

`.¨☆¨geLLy¨☆¨.´ said...

waOo ^_^ tinggal di mana prend di mesir ya ?

-=-IpanG-=- said...

wah,.. keren postingannya...[gw kadang mikir bro, kapan gw bisa nulis cerpen kek kamu yah? kadang kalo bikin cerpeng, maunya langsung endingnnya aja...whahahaa]

Ecky A. said...

makasi dah mampir..:)

Blogger NTB said...

luar biase batur sasak..merang

Riema Ziezie said...

ceritanya asyik..gmn sih bs nulis cerita sebanyak itu...zie cita2nya mau jd penulis tp gagal terus kalau nulis panjang paling selembar dah bingung mau nulis apa lg