Friday, August 22, 2008

Tak Lari Piramida Kukejar

Matahari mendaulat dirinya menjadi raja siang. Ia panggang dengan angkuhnya wajah Kairo yang kumuh berdebu. Langit merah menyala. Gugus api mulai menjilati negeri seribu menara. Musim panas telah tiba dan aku menggeliat serupa ikan tawes di atas bara. Tubuhku yang kering kerontang mencoba bertahan di atas panggung pancaroba. Darah di ubun-ubunku serasa ditaburi batu yang dibawa burung ababil dari neraka. "Ya Allah, terima kasih Kau anugerahkan surga Indonesia bagiku. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang aku syukuri? Astagfirullah!" gumamku sambil mengusap peluh di wajah dan teringat betapa sejuk nan indahnya Indonesia.


Satu jam sudah terlewati. Bis delapanpuluh coret tak juga menghampiri. Aku masih setia berdiri. Barangkali…Barangkali…Seribu barangkali. Sejuta kemungkinan tentang bis yang akan datang sebentar lagi, kutanamkan dalam benakku untuk menghibur diri. Tapi sia-sia belaka. Angan itu tak jua menjadi nyata. Sedang kakiku rasanya semakin pegal linu.


*****

Tiga musim panas telah memanggangku. Tiga musim dingin telah memenjarakanku. Sekarang adalah musim panas keempat bagiku. Dan transportasi adalah satu dari sekian banyak hal yang membuatku kecewa di Kairo ini. Selain tentu saja sewa rumah yang semakin mahal. Tuan rumah yang super cerewet. Antri di setiap urusan. Administrasi kuliah yang amburadul. Orang Mesir yang resek. Dan lainnya. Dan lainnya. Maka sungguh kurang ajar Ayah yang telah membuangku ke kota Firaun ini!


"Lando, kemana saja kamu?" Bily meninju lenganku dari belakang. Aku tidak sadar Bily sudah di sampingku.


"Sial! Kamu yang ke mana saja?" balasku sambil menyikut perut Bily dan dia mengaduh kesakitan. "Kamu baik-baik saja bukan?" lanjutku.


"Alhamdulillah. Bertemu kamu, aku jadi bersemangat hidup. Padahal dari rumah aku sudah loyo," jelas Bily dengan mimik sangat serius. Setelah itu. "Hahaha," kami berdua tertawa renyah. Melupakan sejenak penat hidup lalu kembali gelisah.


"Mau ke mana sekarang?" tanya Bily.


"Mau ke kampus?"


"Hahaha. Tumben!"


Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata Bily. Tumben! Memang benar. Setelah ujian selesai, baru kali ini aku hendak ke kampus. Aku terjebak di lingkaran setan yang menanggap kampus telah berubah fungsi menjadi bank tempat mendulang uang. Dikunjungi sekali sebulan ketika minhah turun. Aku telah terperosok dalam jurang kutukan yang melaknat kampus sebagai lembaga sosial yang menyediakan paket rihlah gratis. Didatangi sekali setahun ketika akan memperpanjang visa. Hanya minta tashdiq kuliah. Agenda kampus semacam kuliah bersama dosen, orasi ataupun diskusi ilmiah, dan segala pernik kegiatan kemahasiswaan hilang entah ke mana.


"Mau lihat natijah," kataku singkat. Pikiranku kemudian menerawang ke masa silam. Kini dua kartu kuning telah kukantongi. Dua kali pengumuman dengan nilai yang sama. Manqul membawa delapan maddah. Istilah lain untuk rosib! Rosib sekali lagi maka riwayatku akan tamat. Dan yaumul hisab itu kini di depan mata! Ya Allah, luluskan aku. Doaku membatin.


*****

Bis delapan puluh coret datang. Penumpang meluber. Sesak! Bahkan banyak yang bergelantungan di pintu. Sebagian besar adalah wajah-wajah Indonesia. Aku berusaha masuk. Sayang, aku tertahan. Kemudian turun.


"Hahaha," Bily kembali tertawa. "Naik taksi saja yuk," ajaknya.


"Taksi! Kami mau ke Al-Azhar."


"Ok. Silahkan," sopir taksi berkepala botak dengan perut buncit itu menyilahkan. "Kalian orang Indonesia?" lanjutnya.


"Iya. Kami orang Indonesia."


"Apa kerjaan orang Indonesia di sini?" tanyanya.


"Maksud Anda?" balasku dengan nada geram. Bily cuek saja membaca novel 'Kitab Omong Kosong' karya Seno Gumira Ajidarma. Bagi Bily, melayani basa-basi orang Mesir sama saja dengan mendengarkan kentut. Tidak ada gunanya!


"Aku heran dengan kalian orang Indonesia. Katanya butuh bantuan. Negara miskin. Tapi kenapa kalian memiliki hp yang bagus-bagus. Penampilan kalian borju. Kalian mengaku jadi mahasiswa Al-Azhar tapi baru-baru ini aku baca di koran An-Naba' ada teman kalian yang menjadi..."


"Tunggu! Anda jangan sembarangan kalau ngomong. Kata-kata Anda sama saja dengan suara keledai." Kemarahanku memuncak. "Sudah, nggak usah dilayani. Itu semua omong kosong!" ujar Bily tanpa beralih dari bacaan 'Omong Kosong'-nya.


"Tidak bisa begitu, Bil. Jelas-jelas dia memfitnah. Apa itu akan kita biarkan? Apa lagi ini menyangkut kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia," jawabku tegas. "Hei orang Mesir. Mana bukti ocehanmu? Tidak ada kan!"


"Aku hanya ingin kamu tahu. Nih..." sopir botak itu menyodorkan koran An-Naba. Dengan teliti kubaca kata demi kata. Dan...Astagfirullah! Aku memekik kaget. Dosa apalagi yang hendak ditimpakan pada wajah negeriku yang kusut dan tak berdaya? Kali ini perhatian Bily langsung buyar. Disambarnya koran An-Naba yang sedang kubaca.


"Gila. Kacau! Hancur Indonesia kalau ini benar terjadi!"


"Bagaimana orang Indonesia?" suara si botak seperti mengejek.


"Itu belum tentu benar!" belaku tegas.


"Hehehe. Aku hanya mengingatkan. Kalian jauh-jauh datang ke Mesir jangan jadi munafik. Di sini main-main, masa' pulang jadi dai. Itu kan lucu. Aneh!" kata-kata si botak tepat menghunjam di ulu hatiku. Aku dan Bily diam saja. Sesekali hanya nafas panjang kami yang terdengar. Berhembus berat seakan sesak menahan beban. Dan tak terasa taksi sudah sampai di gerbang kampus Al-Azhar.


"Bawa saja korannya," teriak si botak begitu kami keluar dari mobilnya.


Aku melangkah gontai. Obrolan setan dengan si botak tadi masih terngiang di telingaku.


"Bily, kita ke KBRI saja abis ini. Menanyakan masalah yang barusan. Biar jelas. Kalau itu benar-benar ada minta aja dipulangkan orangnya. Tapi semoga saja itu hanya kabar burung. Kalau demikian, tuntut saja koran sialan itu!" kataku bersemangat.


Aku kemudian menuju papan pengumuman. Kulihat teman-teman berkerumun di sana. Wajah-wajah sumringah karena najah. Lainnya kulihat wajah-wajah lesu dan memelas karena nasib baik belum berpihak. Kucoba mencari nomor ujianku. Dan...dunia serasa berputar. Kakiku seakan tak berpijak di tanah. Kini satu kartu kuning lagi kuterima. Berarti tiga kartu kuning telah kukantongi. Satu kata di otakku. Pulang! Tiada lagi kata yang pas untuk gelar mafsul Al-Azharku.


"Lando, jadi ke KBRI?" Bily menghampiri.


"Iya," jawabku tak bergairah.


"Kamu kenapa?"


"Riwayatku tamat. Saya mafsul. Saya mau pulang, Bily."


"Pulang ke mana? Indonesia?"


"Ke mana lagi? Aku juga di sini nggak bisa ngapa-ngapain. Kamu bagaimana?"


"Alhamdulillah, seperti tahun lalu. Jayyid jiddan. Kalau aku boleh usul kamu coba lagi. Jangan pulang dulu. Aku yakin kamu bisa."


Di kantor KBRI kami diterima dengan ramah oleh bapak Andi. Bily menjelaskan dengan seksama apa yang dia baca di koran An-Naba. Aku hanya mendengarkan. Aku seperti kehilangan tenaga. Oh...Rosib. Oh...Nasib!


"Terima kasih atas informasinya. KBRI akan menindaklanjuti secepatnya. Sampai sekarang belum ada laporan dari amn daulah. Biasanya kalau ada masalah, amn daulah pasti melaporkan ke pada kita."


"Iya. Soalnya ini masalah yang sensitif dan menyangkut nama baik bangsa kita. Kami khawatir kalau tidak ada tindak lanjut akan berdampak buruk."


Kami keluar setelah semua selesai. Bily mengajakku jalan-jalan ke pinggiran sungai Nil. Aku diam saja memandang air yang mengalir tenang. Kulihat burung-burung terbang rendah. Pikiranku kembali ke masa silam. Tiga tahun kini tanpa hasil apa-apa.


Sungguh salah kuanggap kuliah tanpa absen adalah surga untuk lupa waktu lalu terlena. Sungguh berdosa menjadi pecundang karena jauh dari pantauan orang tua. Sungguh celaka! Bahkan tiga tahun telah sia-sia karena di Kairo ini, kerjaku hanya poya-poya. Hura-hura. Ber-chating ria. Berselancar di dunia maya. Main game. Setelah bosan dan jenuh lalu terlelap di dunia mimpi bersama bidadari. Ahai…inikah aku kader bangsa yang ditunggu Nusantara? Penyesalan, bagaimanapun juga sungguh menyakitkan!


"Bily, besok bantu saya cari rumah di Thantha. Aku mau melanjutkan kuliah di sana," pintaku mengiba pada sahabatku, Bily.


"Kamu tidak jadi pulang?" tanya Bily ragu.


"Kalau aku sungguh serius, tentu kata orang bahwa kuliah di Al-Azhar itu sulit hanya mitos belaka. Aku yakin itu. Lagian mau pulang juga aku belum punya bekal apa-apa. Bahkan dzikir setelah salat saja aku belum lancar. Kecuali kalau aku hendak menjadi sampah masyarakat. Aku ingin berusaha mencari sebentuk oleh-oleh untuk Indonesia," terangku dengan serius. Aku merasa bebanku telah berkurang. Bily memandangku dengan mata berkaca.


Langit sebentar lagi gelap. Malam pun merambat senyap. Berita duka selamanya membuat waktu berjalan sangat lambat! Bumi pun pucat.


Saqar Quraisy Rabu 7:35 08082007

No comments: