Saturday, August 30, 2008

Firaun di Negeri Musa

Setelah beberapa lama, akhirnya panggilan itu datang juga. Aku dinyatakan lulus untuk melanjutkan studi di universitas Al-Azhar. Kecuali aku, keluarga dan teman-temanku tentu saja bahagia. Sangat bahagia barangkali. Tapi, aku biasa-biasa saja. Lebih tepat, aku tak menginginkannya. Karena ternyata beasiswa itu sangat menyakitkan. Menjadi miskin adalah bencana yang selalu siap memotong cita dan impian.

"Kamu harus sampai Jakarta paling lambat hari kamis. Lengkap dengan paspor dan surat lainnya. Oiya, untuk jaga-jaga, siapkan uang lima juta. Di Kairo kamu masih menunggu beasiswa turun. Jadi, untuk sementara kamu pakai uang pribadi," jelas petugas yang menghubungiku dari Departemen Agama.

"Tapi, Pak. Saya tidak mungkin buat paspor sehari langsung jadi. Apalagi menyiapkan uang lima juta," suaraku tercekat. Batinku memelas.

"Kalau kamu mau, semua bisa didapatkan. Kalau tidak, saya tidak mau tahu, jika kamu gagal berangkat."

Sial! Enak saja mulutnya ngomong.

Sebenarnya aku lebih memilih tidak berangkat. Kupikir baiknya aku tidak usah ke Mesir. Bukankah ilmu agama di pesantren saja tidak habis kulahap? Tapi, Amaq dan Inaq sudah tahu dan buru-buru berdoa: "Ya Allah, semoga ini barokah bagi kami. Nak, selamat. Kamulah harapan kami. Kamulah jantung-hati kami. Nak, berangkatlah."

Akhirnya, aku berangkat. Paspor bisa selesai sehari. Tentunya, dengan biaya yang sangat tak masuk akal. Administrasi di negeri kita dihuni oleh setan-iblis. Dan urusan akan cepat selesai jika berani bayar lebih. Persoalan akan mulus jika ada fulus. Aku merasa, hidupku pun mulai digerogoti kutukan.

Dan uang lima juta itu...

"Saya dapat beasiswa dari universitas Al-Azhar Mesir, Pak. Tapi, saya disuruh siapkan uang lima juta untuk jaga-jaga," jelasku pada Bapak Bupati Lombok Merah. Aku lupa namanya. Ah...tidak. Aku tidak lupa. Aku melupakannya. Aku janji tidak akan mengingatnya!

"Bagus itu," Bapak yang tak akan kuingat namanya itu menjawab singkat. Dia terus saja sibuk menanda-tangani berkas yang menumpuk di depannya. Tanpa menoleh padaku. Tanpa sedikit saja melirik ke arahku. Seolah-olah aku tidak ada di hadapannya. Seolah-olah aku adalah batu yang tak punya akal dan pikiran. Ingin sekali kuludahi mukanya, tapi aku sadar diri. Aku orang lemah dan papa. Itu artinya, bahkan untuk berbuat baik saja masih harus berhati-hati.

"Sudahlah, kamu tidak usah mengharapkan bantuan dari pemerintah. Amaq ada solusi untuk kamu," hibur ayah sepulangku dari kantor bupati. Dan sawah peninggalan nenek moyang; satu-satunya harta yang kami punyai; pusaka yang kalau dijual berarti penghinaan bagi para pendahulu; karena itu sama saja artinya menjual tulang rusuk mereka. Sawah tempat segala harapan digantungkan. Harta paling keramat itu...dijuallah untuk biayaku ke Mesir. Ya Allah, pergiku ke Mesir, benar-benar kurasakan seperti menyeberang di titian shirathal mustaqim. Ya Allah, tuntunlah aku agar selamat.

"Pire taun side lek Mesir, Tatik?" Inaq menatapku sayu. Buru-buru kuhindari bertatapan dengannya. Aku tak kuat. Aku tak sanggup. Selaksa asa di bening matanya. Sejuta budi hutangku padanya. Ibu, bahkan dunia dan isinya tak akan setara untuk membalas cintamu. Tak terasa, tetes air mata, menggenang di pipiku. Kini, aku akan pergi jauh sekali. Meninggalkan ibu. Meninggalkan ayah. Meninggalkan semuanya.

"Insyaallah empat tahun, Inaq."

"Side jari ape lamun wah tulak olek Mesir?"

"Jadi manusia, Inaq."

"Ya Allah, Inaq nanya baik-baik, kok jawabanmu seperti itu, Nak?" Ibu berlinang air mata. Ibu menangis. Aku jadi merasa sangat bersalah.

"Ya, mungkin jadi menteri, Inaq," jawabku sekenanya sekedar menghibur diri. Membunuh bingung dan cemas yang bersarang di dada.

"Pacu-pacu lek gumin dengan. Inget inaq-amaq de." Baik-baik di negeri orang. Ingat ibu-bapakmu. Kakek menasihati.

*****

Pesawat sudah berada di langit Kairo. Kuedarkan pandangku ke bawah sana. Rumah-rumah kardus, sahara membentang, gedung-gedung menumpuk saling tindih. Ahai...ini bukan kota. Teriak hatiku. Ini tempat pembuangan sampah.

Aku turun dari pesawat. Siang menggarang. Langit bersinar terang. Matahari serasa berada tepat di atas ubun-ubunku. Huss...angin sahara menampar wajahku. Kutatap bumi yang pias ini, sahara setandus sepi, padang gersang sepanas api. Apakah sedang kugali sendiri kuburanku di sini? Bisik hatiku disambut senyum kecut negeri Musa ini.

Aku mengernyitkan dahi. Heran dan kaget. Kutatap wajah-wajah yang menjemputku. Mengenaskan sekali. Orang-orang yang tak terawat, pikirku nakal. Bagaimana mungkin, mahasiswa Al-Azhar yang setiap saat bergelut dengan ilmu agama; setiap waktu bercumbu dengan Al-Quran; sepanjang hari bercengkrama dengan hadits, tapi berpenampilan seperti preman. Rambut panjang urak-urakan. Celana belel. Tapi ah... bukankah penampilan hanya di luar saja. Siapa tahu hati mereka seputih salju, sesejuk embun pagi. Buru-buru kuusir prasangka buruk yang sejak tadi bergelayut.

"Selamat datang di Mesir." Wajah itu tersenyum ramah. Benar, penampilan tidak selamanya menggambarkan hati seseorang.

Aku membalas tersenyum. Menganggukkan kepala tanda hormat. Dan aku bertanya.

"Sudah berapa lama di Mesir, Ustadz?"

"Jangan panggil ustadz. Biasa saja ok. Saya sudah tujuh tahun."

"Masyaallah. Hebat sekali. Sudah S2 dong," seruputku.

Orang itu tersenyum kecut. Diam dan bisu. Tidak ada jawaban. Aku bingung juga salah tingkah.

"Eh, kamu jangan bertanya seperti itu lagi. Itu pertanyaan sakral. Tidak boleh ditanyakan. Jangan sekali-kali bertanya tentang kuliah," Hanafi, seorang kawan lama, menghampiriku. Deg...deg...deg. Detak jantungku serasa dipompa keras sekali. Pasti ada yang salah di sini, pikirku. Aku semakin bingung. Semakin tak mengerti. Aku tak habis pikir, aku tidak boleh bertanya tentang kuliah. Padahal mereka mahasiswa. Bukankah kalau menjadi tenaga kerja, kita lazim bertanya tentang uang dan pekerjaan? Lalu jika mahasiswa, bukankah wajar, bahkan wajib ditanya tentang pelajaran dan kuliah. Tapi di Mesir ini ternyata salah. Aturan seperti itu tidak berlaku. Kita diharamkan bertanya tentang kuliah dan pelajaran.

*****

Hari berlalu. Waktu terus berjalan. Tak terasa, kini genap empat tahun aku di Mesir. Benar, kita di haramkan bertanya tentang kuliah dan pelajaran. Tapi, terus diminta, dituntut, dituntun, untuk bertanya, mengobrol, berdiskusi, tentang film-film terbaru, klub olahraga terhebat, artis tercantik, betis gadis terindah, bintang Hoolywood terseksi, juga jadwal dan agenda harian yang kini menjelma layaknya website hiburan murahan.

"Bagaimana, Jomblo 13 sudah nonton belum?"

"Eh...tau gak. Ayu Azhari katanya mau berkunjung ke Kairo lho."

"Hebat! Film Korea memang luar biasa. Yang syutingnya di Belanda itu, judulnya apa?"

"Si plontos gendut itu pindah ke Milan. Beckham hengkang ke Amerika. Kasian Real Madrid. Keyok dia sekarang. Tidak punya nyali."

"Busyet deh. Tukul itu enak sekali dicium artis-artis cantik. Tamara, Luna Maya, Nadine, wah gila. Padahal acaranya gak mutu banget."

Sementara hampir semua organisasi mahasiswa Indonesia di Mesir telah berubah menjadi klub-klub olahraga, dan mereka berlomba menjadi yang terhebat, yang ternama, yang terkaya. Aku sendiri terasing dari buku pelajaran, terbuang dari kuliah yang satu ke kuliah yang lain. Aku telah lupa saat sulit ketika awal-awal perjuanganku ke Mesir ini. Aku telah membuang ingatan tentang hal itu. Aku kini bukan siapa-siapa. Aku kini bukan apa-apa. Aku tergesa menyebut diri pemikir muda, padahal salatku saja kacau-balau tak hingga. Aku berbangga, sok penyair, padahal karyaku hanya nyinyir belaka. Mahasiswa bukan. Tenaga kerja pun tidak.

"Nak, jadi apa kau sekarang, sudah empat tahun kok tidak pulang-pulang?" Kalimat itu menggantung di bulu mataku.

"Ah...aku belum menjadi manusia, Inaq. Aku masih berwujud kuda Nil. Barangkali juga kadal Mesir. Mungkin saja hajar jahannam. Inaq, maafkan aku. Jangan-jangan, aku Firaun di negeri Musa ini. Astagfirullah."

Kairo, BIP Jumat 30032007 09:44


No comments: