Thursday, August 21, 2008

Mulai Menulis

Di awal 2008 aku mendapat kejutan. Puisiku kembali dimuat di Suara Pembaruan. Bulan berikutnya cerpen lama yang iseng-iseng kukirim ke Banjarmasin Post juga dimuat. Aku mendapat angin segar dan semangatku seperti menyala. Sayang, penyakitku kambuh. Aku hilang gairah. Aku seperti pejalan yang terlunta; tak tahu mesti berbuat apa. Naskah buku yang sedang kuterjemahkan hilang. Hatiku semakin hancur ketika satu persatu kabar angin tentang keluargaku masuk ke telinga.

Aku bukan laki-laki seperti dulu lagi. Kataku dalam hati. Aku begitu lemah dan tertatih. Aku ingin pulang. Aku ingin sudahi saja kelana-ku. Aku ingin lepas dan istirah. Apatah lagi ada gairah untuk menulis. Menghadapi hidup saja aku sudah malas.

Waktu berjalan dan nasib baik berbisik padaku. "Kamu di sini saja. Percuma pulang ke Indonesia. Kecuali kalau kamu mau jadi pecundang." Ah...masih ada yang mau menasehati. Tapi aku tak bergeming. Kucari teman-temanku di UGM. Kuhubungi adikku yang juga kuliah di sana. Untuk program S1 ijazah kamu sudah kadaluarsa. Oh Tuhan! Aku sungguh belum merasa merdeka menjadi bagian dari bangsa Indonesia jika diperlakukan seperti ini. Siapa pula yang bikin undang-undang bahwa ijazah hanya berlaku tiga tahun dan selepas itu basi. Sial!

Aku menyerah. Dan aku ketiban berkah. Aku menikah. Aku punya komputer. Aku bisa menulis setiap saat sampai tanganku beku dan kaku. Aku bisa mencapai apa yang selama ini aku cita-citakan. Aku ingin jadi penulis!

Siang hari mengganas. Jalanan mengeluarkan asap neraka. Aku hendak pergi ke asrama Buus ketika bertemu kawan lama. Ia teman seangkatanku. Ia lulus tahun ini dan akan pulang. Di dalam hati aku berujar lirih, "Kapan aku lulus kuliah?"

Kami pun mengobrol lama. Kusisihkan novel "Cannery Row" John Steinbeck yang kucuri dari rumah seorang kawan. "Selamat kamu lulus tahun ini. Bagaimana selanjutnya? Mau s2 di sini?" tanyaku sambil mengusap peluh yang menggantung di bulu mata.

"Tidak. Aku ingin pulang. Mencari kerja." Jawabnya lugas dengan nada optimis. Raut wajahnya cerah.

"Mau ke mana sekarang?"

"Mau ke Jamiyyah Syariyyah. Mau mengajukan permohonan buat tiket pulang." Ia menjawab sambil sesekali memandang ke jauh sana, memicingkan mata untuk melihat bis yang tak kunjung datang. "Bagaimana istrimu sekarang? Apa kamu sudah dapat kerja," tanyanya lagi.

"Istriku di rumah baik-baik saja. Itulah, aku sedang mencari pekerjaan. Kamu ada informasi?" Ia lantas menceritakan beberapa peluang kerja. Ia menyebut nama-nama yang bisa kuhubungi. Tapi diujung kalimatnya ia membuatku seperti bangun dari mimpi indah dalam tidur panjang.

"Kamu kan bisa menulis. Kembangkan saja potensi yang kamu miliki. Aku yakin kalau kamu berusaha kamu pasti bisa. Tinggal cari link, kamu menulis, dan menulis."

Sejam berlalu. Panas matahari semakin menggila. Bis tak kunjung datang. Aku pun urung pergi. Aku pulang. Melanjutkan bacaan hasil seni tanganku yang gatal.

Besoknya aku pergi ke Buus. Syukur tiada terkira aku langsung dapat bis. Aku kembali bertemu kawan-kawan lama. Di Buus pun aku bertemu sahabat karib. Kami mengobrol ini itu. Ia membicarakan niatnya untuk hajji, menceritakan beberapa rencana masa depan, juga meminta pendapatku mana yang terbaik; pulang dan berjuang di masyarakat atau terus kuliah melanjutkan s2. Hm... ia menikmati hidup dengan seni yang nyaris sempurna. Lulus kuliah, pergi hajji, pulang bertemu keluarga. Indah sekali!

"Apa kegiatanmu?" tanyanya memecah sunyi.
"Tidak ada. Hanya membaca buku."
"Kamu masih menulis bukan? Kamu bisa menulis. Kamu asah kemampuanmu. Penulis-penulis besar juga dulunya berawal dari nol."

Ya Allah, terima kasih Kau kirimkan untukku teman yang baik hati. Aku ingin cepat-cepat sampai rumah. Duduk di depan komputer. Berselancar di dunia imajiku. Menulis mimpi-mimpi yang berserakan. Ada yang bertanya kenapa kamu lebih suka menulis fiksi? "Karena fiksi itu tak mempunyai batas. Aku punya jutaan cita-cita dan tak mungkin kugapai semuanya. Di dalam fiksi aku bisa mencapai semua cita-cita dan mimpiku lewat tokoh yang aku ciptakan."

Mulailah menulis. Anda tidak perlu menunggu menjadi hebat untuk memulai sesuatu. Tapi dengan memulai, tidak mustahil Anda akan menjadi hebat.

No comments: