Saturday, August 30, 2008

Suatu Pagi dan Pagar yang Makan Tanamannya

Perempuan bersenyum jingga


Aku tidak tahu di mana kudapatkan istilah ini. Perempuan bersenyum jingga. Bukankah senyum tidak berwarna? Dan sahabat-sahabatku menuduhku telah gila. Gila! Aku benar-benar gila. Aku gila karena senyum perempuan yang kulihat berwarna jingga. Setidaknya dalam khayalku.


Senyum perempuan itu benar-benar khas. Mempunyai daya magis yang entah aku tak tahu (ups...bukan tak tahu tapi pura-pura tak tahu), akan membuatku tenggelam. Aku berkelana, tenggelam, lalu tertawan. Demikianlah, selalu saja ada alasan untuk jatuh cinta pada beberapa perempuan pada waktu yang sama. Bahkan, perempuan bersenyum jingga ini kukenal, ketika aku sedang duduk berdua dengan kekasihku. Di warung bakso Malang, di depan kampusku.


Aku jadi rajin berkunjung ke warung bakso itu. Tidak lagi berdua dengan kekasihku. Kami (aku dan kekasihku) hanya bertemu pada sore hari Sabtu untuk menikmati malam Minggu. Selebihnya masing-masing punya kesibukan sendiri. Seperti aku yang penggiat seni lukis, hari-hari bagiku adalah cat air, kanvas, lukisan dan segala tetek-bengeknya. Suatu ketika aku akan menjadi Picasso. Bahkan melampauinya. Begitu selalu kutegaskan pada kekasihku, bila dia meminta waktu lain untuk bertemu. Apakah begitu penting sebuah alasan? Ataukah memang hidup tak perlu alasan. Menjalani saja apa adanya. Toh, hidup ada yang mengaturnya.


Kini aku tak lagi malu duduk berlama-lama di warung bakso itu. Sepertinya penjaga warung telah mafhum keadaanku. Mahasiswa dengan modal pas-pasan. Bahkan setiap akhir bulan mesti mencari pinjaman pada lain orang untuk bertahan hidup. Karenanya, dia tidak marah karena kursinya kupakai mesti aku tak membeli baksonya.


Perempuan bersenyum jingga. Bagaimanakah kau kan kugapai? Ini adalah sebuah pertanyaan yang rumit. Aku punya Rinjani, kekasihku. Tapi aku juga sedang tenggelam atau bahkan terbawa arus. Jatuh cinta lebih berbahaya daripada sekedar terbawa arus sungai. Begitu kata temanku. Ah...aku tidak perduli. Biar saja, sederas apapun keputusanku sudah bulat. Rinjani, maafkan aku. Jatuh cinta pada lain wanita. Padahal aku janji setia. Sungguh malapetaka, kelak kalau Rinjani tahu, dia akan mengutuki diriku, cintaku, juga kelelakianku. Dasar lelaki!


Penantianku tidak pernah sia-sia. Aku selalu melihat perempuan bersenyum jingga itu datang menjelang senja. Duduk di pojokan warung, di samping bunga mawar yang merah merekah, kemudian memesan dua porsi bakso. Aku jadi sangat heran dan semakin ingin tahu, sebenarnya apa yang terjadi dengan perempuan itu. Duduk menjelang senja, memesan dua mangkok bakso. Makan dengan pelan sambil komat-kamit seperti bercakap pada diri sendiri. Barangkali dia telah gila! Tidak mungkin. Hingga aku menemukan jawabannya, ketika dia datang suatu ketika dengan temanku, Galuh.


Lelaki itu kucing garong!


Sore itu, seperti biasanya, menjelang senja, matahari sudah condong, hendak rebah di pangkuan malam. Aku duduk di warung bakso tempatku menunggu si perempuan jelita; pemilik senyum berwarna jingga. Aku lihat Galuh; teman sekampungku yang kini juga sedang berselingkuh dengan mesumnya Jakarta. Mungkinkah perempuan itu kekasihnya? Darah di ubun-ubunku serasa berdesir. Cemburu! Apakah aku berhak untuk cemburu pada perempuan yang belum menjadi milikku. Dadaku terasa sesak! Aku tidak kuat menahannya. Rinjani, rasa itu kini mendesir, rasa cemburu menyisir ulu hatiku. Seperti inikah yang kau rasakan jika kau tahu bahwa aku sedang jatuh cinta pada lain wanita. Ah...


Lamat kudengar suara perempuan bersenyum jingga itu (sampai saat ini aku belum tahu namanya!).


"Salah nggak kalau aku tidak pernah menghubunginya. Aku terlalu sibuk. Atau memang janjinya untuk setia hanya basa-basi."


Galuh yang duduk di depannya hanya tersenyum meningkahi pertanyaan perempuan itu.


"Lelaki memang begitu. Seperti kucing garong. Kalau lihat ikan yang lebih segar, dia tidak akan menghiraukan perasaan orang lain yang dikhianati." Perempuan itu masih saja nyerocos. Ada perasaan yang terus mendorongku untuk sekedar berkenalan dengan perempuan itu. Kupikir ini saat yang baik.


"Hai...Galuh. Enak sekali menemani bidadari makan bakso." Kulirik perempuan itu. Dia tersenyum. Wanita mana yang tidak melayang perasaannya dipuji sebagai bidadari. Satu kosong dalam benakku. Aku sudah bisa membaca rumusnya; wanita ini suka dipuji dengan kata-kata romantis. Selanjutnya aku akan rajin mengirimkan puisi, pikirku.


"Hei. Kenalkan ini temanku, Anjani." Dingin. Galuh memperkenalkan bidadari itu padaku. Kurasa ada yang salah. Ah...Anjani. Ah...Rinjani. Seperti ada yang menohok di jantungku. Rinjani. Anjani. Adakah mereka bersaudara. Kalau bersaudara, aku pasti sudah tahu. Apa yang tidak kutahu dari Rinjani, bahkan kakek buyutnya sudah dia kenalkan padaku. Atau jangan-jangan nama itu hanya bikinan Galuh agar aku ingat bahwa aku punya Rinjani.


"Balfas." Kuulurkan tanganku.


Dia menyalamiku. Darahku berdesir. Ahai...tangan selembut sutra. Kucoba membuang segala rasa bersalahku pada Rinjani. Aku tak perduli. Bukankah lelaki itu kucing garong. Kalau ada ikan yang lebih segar, mengapa harus membuang kesempatan.


"Nama yang indah. Mungkin ayahmu tipe lelaki yang romantis. Punya rasa puitis yang tinggi. Anjani...namamu mewangi seperti melati."


"Ah...kamu ini ada-ada saja. Bapakku memang guru sastra kok."


"O...pantes saja!"


"Lain kali kita sambung ok. Sekarang kita harus pergi. Kalau mau naklukin Anjani, kamu harus bisa bikin puisi seratus biji sehari." Datar. Aku melihat raut tidak suka di wajah Galuh. Cemburukah? Lelaki itu kucing garong! Aku atau Galuh-kah yang kucing garong? Atau kami berdua adalah kucing garong yang hendak berebut ikan? Aku tidak tahu nasib apa yang akan berlaku! Aku merasa tertantang.


Aku dan Galuh


Sebenarnya menyebut Galuh sebagai teman saja tidak cukup. Bagiku dia adalah saudara. Seperti kakak-beradik. Hanya saja aku tak tahu, aku atau dia yang layak sebagai kakak. Ah...itu tidak penting. Kami dari kecil selalu bersama. Sekolah sejak SD sampai SMU bahkan kuliah pun di tempat yang sama. Bedanya, dia ambil hukum sedang aku sastra. Kata orang, raut muka kami mirip. Kadang, teman yang baru kenal seringkali salah orang. Tak bisa membedakan antara aku dan Galuh.


Kami datang ke Jakarta dengan dendam yang sama. Mengeruk kekayaan ilmu dan uang untuk membangun kampung halaman. Dendam yang baik bukan? Lulus dengan nilai sangat baik di SMU 1 Mataram, membuat jalan kami lempang. Masuk UI dengan beasiswa dari yayasan Brigafisca. Sebuah yayasan pendidikan yang paling bergengsi di daerah kami, Lombok.


"Pacu-pacu entane lek bumin dengan. Patuh-patuh. Dendek besiak." Amaq Dijah, ayahnya Galuh menasehati. Baik-baik di daerah orang. Patuh-patuh. Jangan bertengkar. Begitu kata terakhir yang kami dengar sebelum take off dari bandara Selaparang, Rembige.


"Mau tengkar? Hehehe." Aku dan Galuh tertawa. Galuh meninju lenganku. Amaq Dijah tersenyum. Dalam pikiranku, aku tidak akan mungkin bertengkar dengan Galuh. Bukankah dia bagiku adalah saudara. Seperti dia juga menganggapku begitu.


Sampai akhirnya....! Kejadian yang sangat aku sesalkan terjadi. Aku benar-benar bodoh. Lebih tepatnya keras kepala.


***


Sebuah sore. Angin bertiup gelisah. Langit tak basah. Di warung bakso depan kampus. Aku duduk sendiri. Menunggu Anjani dan Galuh. Sejak pertemuan dan perkenalanku, kami selalu menghabiskan sore bertiga. Hanya duduk. Menunggu matahari tenggelam. Rebah di pangkuan malam.


Sore yang sepi. Tak ada tawa-canda Anjani. Hanya aku dan Galuh. Aku tak tahu ke mana Anjani. Aku memesan dua gelas es jeruk. Aku dan Galuh tak banyak bicara. Dingin. Lebih dingin dari es jeruk yang kuminum.


"Kamu suka sama Anjani?" Galuh menatapku. Lekat. Sorot matanya seakan menghunjam di ulu hati. Meminta kepastian. Aku kuatir. Jangan-jangan pesan Amaq Dijah ada benarnya. Jangan bertengkar. Jangan bertengkar. Ah...sebuah larangan. Tapi di telingaku. Kalimat itu justru menjelma perintah. Bertengkarlah jika keadaan memaksa. Bertarunglah jika ada yang meminta. Bersainglah jika ada yang menantang. Jangan jadi banci. Kau adalah laki-laki. Setiap laki-laki yang lahir dari rahim Lombok adalah pepadu. Petarung yang siap menantang apa saja. Termasuk juga mati.


"Lebih dari sekedar suka. Ada yang salah?" Suaraku memberat. Geram. Seperti ada yang tertahan. Kutatap matanya. Sorot mata kami beradu. Bumi seperti dijilat lidah neraka.


"Tak ada yang salah. Hanya saja...." Kalimat Galuh menggantung. Aku menunggu. Mungkin ujung kalimatnya berupa sabetan keris. Dan perang saudara akan pecah. Gara-gara cinta. Sebab wanita. Alangkah hinanya. Bukankah aku atau Galuh bisa saja mengalah. Tapi aku laki-laki. Galuh laki-laki. Lahir dari rahim yang sama. Pepadu. Petarung. Setiap laki-laki, dalam waktu yang sama adalah juga singa. Buas.


"Ada apa? Katakan saja. Masa' sama saudara sendiri saja begitu. Pakai rahasiaan segala." Kucoba tersenyum. Senyum yang sangat kupaksaan.


Galuh tak berkata apa-apa. Diam. Sesekali membuang nafas panjang.


"Ada apa sih sebenarnya? Kamu lupa. Aku dan kamu laki-laki. Lebih dari itu, kita sama-sama orang Sasak. Laki-laki adalah pepadu. Kalau kamu juga suka, tidak ada salahnya. Atau jangan-jangan kamu mau mengatakan aku yang bersalah."


Tidak ada tanggapan. Bisu. Aku benar-benar kesal dibuatnya. Jangan bertengkar! Jangan bertengkar! Ah...kekuatiran itu akhirnya datang juga. Setidaknya berupa perang dingin.


Galuh beranjak. Pergi meninggalkan bias api neraka.


Hati yang mendua


Aku tidak tahu perasaanku kini. Galang meninggalkanku. Dia menikah dengan perempuan pilihan ibunya. Cinta. Ah...selalu saja tak terduga. Aku benar-benar goyah. Rapuh. Hingga Galuh dan Balfas hadir dalam hidupku. Dua laki-laki yang cukup menarik. Berasal dari daerah yang sama, Lombok. Dua laki-laki kembar. Menurutku begitu. Prestasi mereka sama-sama menonjol. Galuh selalu bercerita tentang itu.


Tentu saja di antara keanehan Balfas dan Galuh, mereka punya sisi rahasia yang unik. Galuh dengan mimpi-mimpinya tentang masa depan dunia hukum. Segala prestasi yang diraihnya sejak SD, SMP, SMU, bahkan di kuliah.


Pertemuanku dengan Galuh tidak sengaja. Ternyata dia seorang biblioholik. Penggila buku. Baginya dunia adalah buku. Dan waktu-waktunya selalu dihabiskan di perpustakaan. Kecuali setelah perkenalannya denganku. Galuh selalu setia menemaniku. Tentu saja dia hanya duduk membaca buku. Tak berbicara apa-apa ketika aku menikmati matahari tenggelam, makan bakso dengan sambal pedas di warung depan kampusku, atau lainnya. Kelemahan Galuh ( atau mungkin kelebihannya yang lain! ) adalah dia sangat pendiam. Dan Balfas datang mengisi kekosongan itu.


Balfas. Menyebut namanya, maka yang terbayang di kepalaku pertama kali adalah puisi dan Pantai Senggigi. Pantai paling indah di Lombok. Dengan bangga, setiap pertemuan diisinya dengan cerita. Pulau Lombok dengan keindahannya. More beautiful than Bali. Lombok is the real paradise in world, pujinya pada kampung halamannya. Tentu saja ini sangat kusuka. Aku jadi sering membayangkan bulan madu di pulau Lombok. Alangkah indahnya. Ups...tapi dengan siapa? Galuh atau Balfas? Aku bingung!


Barangkali aku jahat. Aku terjebak. Seharusnya aku bisa menarik diri. Mundur perlahan dari misteri dua laki-laki itu. Terlanjur! Aku tahu Galuh dan Balfas menyukaiku. Galuh pernah berkata begitu padaku. Walaupun hanya sekali. Tidak seperti Balfas. Dia selalu mengulang-ngulang perkataannya. Balfas memanggilku dengan panggilan yang membuatku selalu tersenyum. Dia laki-laki yang sangat romantis. Pertama kali bertemu saja, dia katakan namaku mewangi seperti melati. Karena aku tersenyum mendengar pujian itu, dia memberikanku panggilan: Bidadari Bersenyum Jingga. Dia juga bilang, aku adalah puisinya yang tak akan pernah usai. Bahkan sebuah puisi dia persembahkan khusus untukku. Aku sangat menyukai puisi itu. Atau jangan-jangan suka pada pencipta puisi itu.


Selepas Magrib


Selepas magrib kala itu

kudatang padamu

membawa segelas doa

untukmu adinda

Adalah ibu yang rajin mengirim salam

menitip nakalku padamu

tuk bermanja pada senyum

yang kau pilin setiap bertemu


Galuh atau Balfas? Hatiku bingung. Hati yang mendua. Apakah hati wanita selalu begitu? Plin-plan. Tak menentu. Bukankah mudah saja untuk mengatakan iya pada yang satu, dan tidak untuk yang lain. Iya untuk Balfas, tidak untuk Galuh. Atau sebaliknya. Tidak untuk sang penyair; Balfas, dan iya untuk calon hakim; Galuh. Jangan-jangan aku suka mereka bertarung karenaku. Jangan-jangan aku senang mereka bersaing memperebutkanku. Tidak. Aku tidak sejahat itu. Perangai cintaku yang jahat adalah aku mencintai dua laki-laki pada saat yang sama.


Suatu pagi dan pagar yang makan tanamannya


Pagi ini hatiku tidak karuan. Balfas mengajakku bertemu. Aku bisa menebak. Ini pasti tentang Anjani. Aku tahu. Dalam hal ini Balfas pasti lebih unggul. Tapi aku tidak mau dibilang banci. Bukankah aku lahir dari rahim yang sama? Lombok! Sasak! Pepadu tulen. Petarung sejati. Aku tak mungkin diakui sebagai laki-laki, kalau menghadapi masalah ini saja tak berani. Ah...bukankah Balfas punya kekasih. Rinjani. Mengapa aku tidak ingat dari dulu. Supaya jalanku meraih Anjani mulus. Sekarang saatnya.


Sejarah Putri Mandalika terulang kembali. Dua petarung sejati akan berebut putri. Anjani. Aku dan Balfas akan bertarung. Tapi aku punya senjata yang lebih ampuh. Rinjani.


{Putri Mandalika; putri raja di Lombok. Rela kehilangan nyawa karena tak ingin salah satu dari dua laki-laki yang ia cintai mati. Sebagaimana lazimnya seorang wanita cantik, banyak sekali yang suka dan ingin memperistri dirinya. Dan sang raja tak tahu bagaimana menentukan calon menantu. Akhirnya, diputuskanlah acara tarung-taji. Dua laki-laki akan duel maut. Yang menang, dialah yang berhak mendapatkan Putri Mandalika. Putri tahu hal ini. Sedih. Sangat sedih. Mengutuk kecantikannya. Kecantikanku berbuah malapetaka, katanya pada diri sendiri. Putri kemudian meminta, pertarungan diadakan ditempat terjal di pantai selatan pulau Lombok. Rakyat Lombok berduyun-duyun ke sana. Ingin menyaksikan siapa yang menang. Namun...


"Aku benci keadaanku. Gara-gara aku, dua laki-laki rela menghabisi nyawa saudaranya. Aku mencintai kalian berdua." Putri Mandalika terisak. Menangis. Kemudian menceburkan dirinya ke laut. Lenyap. Dua laki-laki itu pun menyesal. Raja dan rakyat Lombok pun demikian. Ah...mengapa sekali-kali tidak menggunakan akal dalam masalah cinta. Tidak melulu perasaan diperturutkan. Sungguh malang! }


Aku datang dengan Rinjani. Anjani kemudian muncul sendirian. Sementara Balfas tak kunjung kelihatan batang hidungnya. Barangkali dia tahu aku mengajak kekasihnya, Rinjani. Diam. Tak ada yang bicara. Dingin. Pagi masih basah dengan embun.


Balfas datang. Dia kebingungan karena Rinjani; kekasihnya, ternyata ada juga. Raut mukanya memendam hasrat. Seperti akan merobohkanku. Keris yang kubawa masih berada di ranselku. Aku masih menunggu Balfas bereaksi. Balfas mendekat. Anjani dan Rinjani, tak tahu mau berbuat apa. Di tempat ini, kami hanya berempat.


"Ape melekm kamu, hah?" Balfas memelototiku. Menanyakan apa mauku dengan bahasa Sasak. Supaya Rinjani dan Anjani tidak faham.


"Sai bejulu? Kamu pinak gare-gare." Aku membalas tak kalah garang. Siapa duluan? Kamu yang bikin gara-gara. Bukankah aku yang duluan bertemu dengan Anjani. Kemudian dia datang ingin merampasnya.


"Kojoh'e nane jak!" Mati kamu sekarang! Balfas mengacungkan taji-nya. Aku berkelit. Sabetan kerisku mengenai lambungnya. Balfas jatuh tak berdaya. Aku bingung. Rinjani dan Anjani menjerit. Seharusnya aku bersabar. Seharusnya...Seharusnya...!


***


Kalian jangan bertengkar. Kalimat terakhir yang kudengar dari ayah. Ah...bukankah persahabatan dalam waktu yang sama adalah wajah lain dari permusuhan. Aku yang seharusnya melindungi Balfas, justru kutikam dengan segala kepengecutanku.


Kairo 30 Juli 2006 11:20


No comments: