Tuesday, October 23, 2007

Aku Ingin Pulang

:: Untuk Muhammad di Malaysia

[Benar, hidup itu ternyata simalakama]

Senja ini, seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, matahari tetap berwarna emas. Tapi tiada debur ombak di depan rumahku. Aku berdiri di dekat jendela. Memandang jauh ke sana. Memandang entah apa. Bunga-bunga yang berderet rapi; yang tertata dalam pot; yang senantiasa menemaniku, kini layulah sudah. Musim semi telah berakhir. Dan ia hanya menunggu waktu. Menunggu untuk kemudian meranggas. Menanti untuk mati. Setelah lelah ia pun musnahlah. Seperti itukah aku? Tanyaku dalam hati, sambil menutup korden. Senja telah berakhir. Di luar gelap mulai merayap.

"Sayang, aku kangen sekali padamu," istriku, titisan Yusuf dan Zulaikha, turunan Cleopatra, Syaifa, mencium pipiku. "Sayang, ada apa sih? Kok kamu murung begitu. Kamu sakit," lanjutnya melihat sikapku yang dingin. Aku hanya geleng kepala kemudian menatapnya sayu. Aku membuang napas panjang. Syaifa, buru-buru memelukku. "Sayang, kamu sakit. Setelah Magrib kita ke dokter ya," bisiknya merajuk. Aku menganggukkan kepala.

*****

"Oh...Tuan Lukman tidak sakit. Hanya gangguan psikologis. Mungkin banyak pikiran. Tuan butuh istirahat," dokter Ahmad menjelaskan. Syaifa yang berdiri menunggu di sampingku, menatap iba. Ia mendekat. Mengusap dahi dan kepalaku, lalu mengecupku. Aku merasa seperti kembali menjadi bayi lima tahunan. Tenang dan damai. Aku merasa seperti tinggal di pelukan ibu. "Seperti apakah kau kini, Ibu," lirihku dalam hati sementara tanganku tak henti-hentinya mengusap air mata. Aku teringat ibu di Indonesia.

Rumahku, oh...bukan! Rumah istriku sepi tak berpenghuni. Hanya kami berdua dan beberapa pembantu. Anak-anak kami: Akmal, Rafi, dan Fatma, masing-masing kini di Paris, London, dan Berlin. Mereka sedang menempuh studi. Syaifa lebih bangga dengan Eropa. Orang Eropa lebih optimis, tindak tanduk mereka lebih masuk akal, dibanding orang Arab yang kerjanya hanya mengenang melulu. Mengenang kejayaan masa lalu, sambil tertawa dan bercerita sepanjang waktu di kedai-kedai kopi, main catur dan lainnya, kemudian ketika Israel menggempur Palestin dan Libanon, mereka hanya gigit jari tak berkutik. Dan kini pelan-pelan aku menjelma layaknya orang-orang Arab itu. Lemah tak berdaya. Lebih dari itu, ternyata aku hanya bisa menyesali diri.

Aku duduk di ruang keluarga. Entah mesti diberi nama apa lagi ruang-ruang yang kami tempati. Rumah istriku terlalu megah, terlalu mewah. Tidak seperti gubukku di Indonesia sana. Makan, tidur, juga masak, di tempat yang sama. Tidak ada ruang keluarga. Tidak ada juga ruang tamu. Kalau sesekali ada yang bertandang, digelarlah tikar pandan di amben depan.

Syaifa datang menghampiri. Semula ia duduk di sampingku. Tapi kemudian tiduran di pangkuanku. Ia raih remot control di meja. Menyalakan televisi. Memilih channel 'Fashion and Show' yang mengorbit dari Prancis, kiblat mode nomor satu di dunia.

"Syaifa, aku cinta kamu, Sayangku," kukecup di dahinya. Ia pun tersenyum. Raut kecantikannya tetap membiusku, sejak dahulu hingga malam ini. Umur kami sama. Empatpuluh lima. Tapi bagiku, dia masih seperti dulu. Gadis tujuhbelasan yang baru dimabuk asmara.

"Duduklah sebentar, Sayang. Aku ingin bicara," ujarku pelan sambil mengangkat badannya dari pangkuanku. Dia menatapku penuh tanda tanya. Aku mencoba tersenyum.

"Kamu sudah lihat berita bukan?" kataku membuka pembicaraan. Ia menganggukkan kepala.

"Kamu tahu arti Indonesia bagiku," lanjutku.

"Ya aku tahu. Indonesia itu sarang maling. Indonesia itu negeri malapetaka. Indonesia itu telah keropos dan tinggal menunggu waktu untuk dihapus dari peta. Indonesia itu..." ucapnya berceloteh seperti anak tanpa dosa.

"Cukup!" aku membentak. Tapi Syaifa tidak mau diam. "Mesir lebih nyaman untuk ditinggali daripada Indonesiamu. Itu bukan perkataan orang Mesir. Itu ucapanmu sendiri ketika menikahiku dan memilih menjadi warga Mesir. Apa kamu telah lupa?" Syaifa membidik peluru tepat bersarang di dadaku. Kata-kata itu, kini menghunjam di ulu hatiku. Perih. Sangat perih! Aku telah berbuat kesalahan besar dengan menikahi gadis Mesir ini, sesalku. Kukira aku akan tenang hidup bergelimang uang. Nyatanya tidak. Apalagi kini berita dari Indonesia tak henti-hentinya meminta air mata. Daerahku sendiri di Lombok terserang busung lapar. Ratusan orang menggelepar. Mati!

"Ok. Aku memang pernah mengatakan demikian. Tapi dengar baik-baik, aku sekarang akan pulang ke Indonesia," nada suaraku penuh emosi. Aku bangkit dari kursi menuju kamar tidur.

"Tunggu!" Syaifa menarik tanganku. "Kita bicarakan baik-baik ya, Sayang" lanjutnya pelan. Ah...wanita di mana saja sama. Cepat marah. Tapi cepat juga luruh. Sekarang bilang benci, lima menit lagi minta dikeloni.

"Kita bicarakan dengan anak-anak. Aku akan menelepon mereka sekarang. Baba dan mama akan kukabari. Masalah ini bukan hanya masalah kita berdua. Ini juga menyangkut nama baik keluarga besarku. Ini juga bersinggungan dengan kedaulatan negeriku, Mesir tercinta," ucapnya panjang lebar.

"Tapi, Syaifa ikut ke Indonesia kan, Sayang," aku merayu.

"Kita lihat nanti. Tapi kupikir, baiknya kamu jangan gegabah. Pertimbangkan dulu sebelum mengambil keputusan." Syaifa berlalu ke kamar tidur. Aku mengikuti.

"Kamu tidur di kamar Akmal. Malam ini kita tidak usah bercinta. Aku ingin sendiri. Pikiranku sedang kacau," ucapnya menghentikan langkahku. Dugaanku yang mengatakan wanita cepat luruh ternyata salah. Wanita terlalu pintar menyimpan. Menyimpan marah, benci, juga cintanya, dalam kisi-kisi hati yang sunyi. Dan malam ini kami pisah ranjang. Pertama sejak kami menikah. Apakah ini adalah latihan bagi malam-malam selanjutnya yang akan kami lalui dalam kesendirian?

*****

Waktu yang ditunggu datanglah sudah. Akmal, Rafi, dan Fatma telah datang. Mereka keheranan. Mereka belum tahu apa yang hendak dibicarakan. Mertuaku, Baba Ibrahim dan Madam Hani, ayah dan ibu Syaifa, telah hadir.

"Baiklah, semua telah ada di sini. Silahkan Tuan Lukman menyampaikan apa yang hendak dibicarakan," bapak mertuaku membuka pertemuan. Tenggorokanku tercekat. Aku bingung. Aku gelisah. Aku resah. Entah rasa apalagi yang menggerogoti jiwaku.

Kutatap anak-anakku. Mencari pembelaan pada sorot mata mereka. Kutatap juga cintaku, Syaifa. Kucari kekuatan pada bening matanya. Dia menganggukkan kepala. Dan aku mulai bicara.

"Ee...," aku menghela napas panjang. Suasana hening. Hanya suara gemericik air di akuarium, detak jarum jam, dan semilir angin yang berkesiur. "Saya ingin pulang ke Indonesia!" ucapku mantap.

"Boleh saya dengar sekali lagi?" pinta baba Ibrahim sambil menatap ke arahku.

"Saya ingin pulang ke Indonesia," ulangku. Kurasakan semua tatap mata menyorot padaku. Dan senyap. Seperti gelap. Aku menunduk. Bingung.

"Kamu sendiri bagaimana?" tanya baba menoleh ke istriku. Syaifa hanya geleng kepala.

"Akmal, Rafi, Fatma. Kalian bagaimana?" baba menjelma layaknya introgator ulung. Anak-anakku ciut melihat sorot tajam kakek mereka. Mereka tak ada yang menjawab.

"Kamu telah sinting, Lukman. Apa yang kamu cari di Indonesia? Tiap hari bencana. Tiap waktu malapetaka. Rakyatnya edan-edanan. Pemerintahnya mabuk-mabukan. Apa yang kamu cari?" suara baba Ibrahim meninggi.

Aku diam membisu.

"Kamu ingat duapuluh lima tahun lalu? Apa katamu tentang negeri antah berantah itu?" lanjutnya.

Sunyi. Senyap. Tidak ada suara. Pikiranku menerawang jauh. Kembali ke duapuluh lima tahun silam. Ketika darah mudaku membara. Ketika asmaraku berkobar. Ketika kuputuskan untuk menikahi gadis Mesir dan mengganti kewarga-negaraanku.

"Tuan Lukman, Anda saya persilahkan pulang. Tapi, Syaifa dan anak-anak tidak akan pernah menjadi warga Indonesia. Mereka lahir, dibesarkan, juga akan mati di Mesir ini. Mesir tumpah darah mereka."

Gleg.

*****

"Sayang, senja ini indah sekali. Matahari tetap berwarna emas. Tapi tiada debur cintamu di sini," bisikku memandang ombak di depan gubukku, di ujung selatan pulau Lombok. Aku rindu Syaifa, bidadariku. Aku kangen Akmal, Rafi, dan Fatma, anak-anakku. Sementara aku hanya diam tanpa daya karena sudah berapa lama berpuasa. Ah...busung lapar ini. Ayah, ibu, dan keluargaku satu persatu membusuk. Mati seperti ulat yang terkena pestisida. Aku ingin pulang sekali lagi. Tapi entah ke mana? Barangkali ke akhirat sana.

BIP; Selasa 03042007 11:40


1 comment:

Syaifa Tania said...

saya tersentuh dengan cerita ini.. saya terharu dan cerita ini menarik.. salam kenal, saya Syaifa.. kunjungi blog saya di www.babyglam.wordpress.com
terima kasih..