Thursday, October 25, 2007

Dialog Subuh

Langit memanggul bulan sabit. Malam bisu. Tanpa kata. Tanpa doa. Jendela kamarku kaku. Tidak lagi bercakap dengan angin. Tentang hujan. Tentang embun. Tak ada suara sepatu. Juga ketukan pintu. Ziarah telah istirah. Barangkali gerah. Mungkin saja gelisah.

Because the sky is blue. It makes me cry.*

***

"Ada apa sih? Tumben nelpon? Suaramu kok berubah sekarang? Apa karena kita tidak pernah ngobrol lagi? Jangan lama-lama! Entar uangmu habis."

"Aku mau ngomong sesuatu."

"Katakan saja. Tapi biaya nelponmu kan banyak. Kasian uang belanjamu." Dia masih khawatir. Aku tersenyum mendengarnya.

"Tenang saja. Biayanya murah kok."

Aku menghela napas panjang. Jeda.

"Jam berapa di Kairo?"

"Jam empat."

"Kamu baru bangun tahajjud?"

"Belum. Aku belum tahajjud. Kamu sendiri?"

"Di Jogja sudah pagi. Baru saja selesai duha. Aku sedang berjemur sekarang. Duduk di taman. Ada secangkir kopi. Beberapa biji pisang goreng. Koran pagi, masih seperti dua tahun lalu. Kamu pasti muntah membacanya. Hahaha."

"Hahaha," Aku dan dia tertawa lepas. Seperti membuang sesak. Sejenak. Selepas itu kembali sadar. Lalu gelisah.

"Ayo, dong. Katamu mau ngomongin sesuatu. Apa sih? Aku penasaran nih!"

"Oh...! E... Aku lulus."

"Lulus apa?"

"Lulus ujian. Sekarang tingkat dua."

"Tingkat dua? Bukannya tingkat tiga?"

"Itulah yang ingin aku katakan."

Aku ingin menangis. Menangislah! Aku ingin menangis seperti embun. Mengisi bibir-bibir bunga yang pecah. Kuncup yang mengundang kupu-kupu. Apakah mungkin? Entahlah! Barangkali aku masih senang bermimpi. Tentang perahu kertas yang menjelma perahu Nuh. Masih sering berimaji. Tentang tongkat Musa menjelma ular.

"Kamu masih di sana? Halo... Kok gak ada suara."

"Hm... Iya. Aku masih di sini."

Begitulah percakapanku dengannya. Adikku satu-satunya. Setelah dua tahun aku menghilang. Tanpa kabar. Tanpa berita. Bahkan tanpa aba-aba. Pernah suatu kali, kubertemu dengan seseorang dan dia bertanya,

"Siapakah yang paling kau rindui saat ini?"

Aku menjawab, tidak ada. Keluargamu? Lanjutnya. Aku tidak tahu, timpalku. Aku lebih memilih diam. Mengubur ingatan tentang kampung halaman. Juga membuang rasa sepi tentang cinta ayah-ibu.

"Kak... Kakak ada masalah?"

"Begitulah. Tahun lalu aku tidak ikut ujian. Aku lebih memilih duduk di pinggiran Nil. Setelah capek, kumampir di apotik dan membeli ratusan tablet obat penenang."

"Oh... Kok bisa seperti itu? Tidur tidak akan bisa menyelesaikan masalah."

"Aku benar-benar kalut."

"Sebabnya?"

"Aku capek. Bosan. Marah."

"Marah sama siapa? Keluarga?"

"Mungkin."

"Kenapa? Kamu merasa tidak diperhatikan?"

"Begitulah. Karena itu kurasa aku sudah tidak berfungsi lagi di dunia ini. Hidupku kubiarkan hancur-hancuran. Kerjaku hanya main game, chating, nonton film. Sesekali ikut kajian yang tidak kufahami agar kelihatan keren."

"Terus kuliah kakak gimana?"

"Kuliah di Azhar seperti masuk TK. Kita dijejali rumus-rumus yang sudah basi. Menghafal ini-itu. Tidak ada absen. Dosen ngomong pakai bahasa 'amiyah. Semaunya sendiri. Sinting memang. Kampusnya jorok. Dan lainnya. Dan lainnya."

"Terus apa yang kakak banggakan? Persiapan pulang bagaimana? Bukankah kakak yang menjadi harapan masyarakat?"

"Mungkin bangga karena kuliah di luar negeri. Karena otakku isinya hanya artis dan bintang film, kurasa aku tidak usah pulang. Aku akan jadi layang-layang di Kairo. Aku tidak layak diharapkan oleh siapa pun. Termasuk oleh diriku sendiri."

"Kak... Kakak jangan begitu."

"Iya. Itu bagian dari masa lalu. Sekarang aku sadar bahwa ada yang mesti kuraih di sini. Walaupun hanya secuil. Maafkan aku, Dik."

"Sudahlah. Rasa bersalah hanya membuat makin bersedih. Lupakan itu semua. Sekarang, adik akan melihat kebangkitan kakak. Adik yakin, kakak bisa melakukannya."

"Terima kasih, Dik."

"Kak, sudah lama nih. Bayarnya gimana?"

"Tenang saja. Kakak nelpon pakai internet. Bayarnya hanya empatpuluh pound. Bisa ngomong tujuh jam lebih."

"Terus apa saja yang mau diomongin?"

"Aku mau bercerita tentang bidadari yang telah menyelamatkanku."

"Dewi Venus? Ahai, sedang jatuh cinta, iya?"

"Bukan jatuh, tapi tenggelam. Aku bertemu dengannya di sebuah siang. Ketika aku tersesat. Putus asa. Aku tak tahu harus berjalan ke mana. Terik matahari seakan melumat badanku yang kurus kerempeng. Tapi senyumnya membuat langit terasa mendung dan sejuk.

"Dengannya kutemukan jalanku yang telah lama hilang. Kuucapkan selamat pagi untuknya. Mengajaknya melihat mentari dan kupu-kupu yang menari. Dia pula yang mengantarku kembali ke pangkuan ibu. Mengatakan padaku bahwa cinta ayah-ibu tak berujung, tak bertepi.”

"Dia mengajarkan aku untuk menghadapi gelisah dengan cahaya-cahaya doa. Menuntunku untuk membasuh marah dan dendam dengan gemericik air wudhu. Dia telah menjelma lautan maha luas. Menerima dengan cinta penuh seluruh."

"Kakak sudah membicarakan hal ini pada ibu?"

"Sudah. Ibu setuju saja. Aku hanya disuruh menunggu masalah bapak selesai. Emang bapak ada masalah apa?"

"Aku tidak tega menceritakannya. Setelah kakak ke Kairo, banyak masalah menimpa keluarga kita. Aku bahkan merasa hidup tidak adil. Ah... Aku tak bisa cerita, Kak."

"Tidak bisa cerita? Ayolah, aku ingin tahu. Please."

"Subuhnya masih lama nggak?"

"Sepuluh menit lagi."

"Kalau begitu, kakak sholat tahajjud aja dulu. Sekalian sholat subuh. Entar kakak nelpon lagi kalau sudah selesai. Adik akan cerita. Adik janji."

***

Kuselesaikan solat subuhku. Dua rakaat! Ya, aku masih ingat bilangan rakaatnya. Dua tahun sudah kubaringkan subuhku dalam mimpi-mimpi. Aku pernah merasa sangat bosan bertemu dengan Tuhan. Aku pergi. Jauh sekali. Ke dalam pekat. Barangkali Tuhan selalu setia manungguku. Aku sangat yakin. Bukankah Dia Maha Penerima? Bukankah pintu pengampunanNya belum tertutup untukku?

Kembali kutelpon adikku. Setelah doa pagi kutitipkan pada burung dara yang bertengger di jendela.

“Halo....”

“Yup... Subuhnya udah kan?” Adikku bertanya. Seperti ada yang menohok di tenggorokanku. Subuhnya udah kan?

“Sudah,” kuusap air mataku. Haru.

“Kakak sudah siap mendengar cerita di rumah?”

“Hmm, siap.”

“Waktu kita masih bersama, kita bilang hidup itu seperti air. Yah... Seperti air memang. Tapi air laut. Adik minta maaf. Kakak jadi merasa tidak diperhatikan. Hidup kita dua tahun belakangan carut-marut. Bisnis bapak hancur berantakan. Uangnya ditipu seratus juta. Barang-barang yang dikirim ke Canada tidak dibayar. Sawah kita sudah dijual semua. Untung ada tabungan sedikit, ditambah uang penjualan mobil. Sekarang hutang bapak tinggal limapuluh juta. “

“Sekarang ibu tinggal sendiri. Bapak pergi keluar negeri. Aku kuliah di Yogya dari beasiswa. Itupun hanya kuliahnya saja. Untuk makan aku jualan koran. Sekarang belajar menulis. Doakan tahun depan aku mau ikut seleksi ke Amerika. Nilaiku cukup untuk mendapatkan beasiswa itu.”

“Keluarga nggak mau kakak ikut pusing gara-gara masalah ini. Tapi semua ada hikmahnya. Mungkin karena kita sudah terlalu manja. Mungkin juga karena kita jauh dari-Nya.”

Oh... Aku tidak tahu lagi perasaanku. Kututup saja windows live massenger di komputerku. Aku tidak kuat mendengar cerita adikku. Sementara aku di Kairo tak melakukan apa-apa. Barangkali karena dosaku, semua ini terjadi.

Jika kau datang pada-Ku dengan berjalan, Aku datang padamu dengan berlari.**

Tuhan, Kau masih di sana kan? Tunggu, aku masih sangat merindu-Mu.

Because the sky is blue. It is make me cry.*

*(The Beatles)

**(Hadis Qudsi)

No comments: