Thursday, October 25, 2007

Selembar Tisu dan Sore yang Bisu


Pertemuan pertama

Sore di sebuah taman. Hening. Angin bulan Januari berhembus perlahan. Tenang. Matahari bersembunyi di balik awan. Kairo dalam dekapan musim dingin. Hawa menggigil menusuk tulang.

Aku diam termenung. Ini kali pertama aku putuskan untuk menemui bidadariku. Perempuan dengan hati sebening salju. Perempuan yang kini menjadi istriku, ibu anak-anakku. Aku berdiri menunggunya. Bangku panjang di taman itu kotor berdebu.

Bidadariku datang dengan setangkai senyum. Dia menatapku. Sepertinya bingung. Atau entahlah. Aku tak berani memandangnya terlalu lama. Sekilas kulihat dia tersipu.

"Maaf, kamu menunggu lama." Dia membuka kebekuan. Perasaanku tak menentu.

"Nggak kok. Nggak apa-apa." Aku menjawab sekenanya.

"Kok berdiri saja? Kan ada bangku." Ucapnya lemah-lembut. Jari lentiknya menunjuk bangku di sampingku.

"Bangkunya kotor."

"O..." Dia membuka bungkusan. Plastik berisi makanan ringan. Dua botol air mineral ukuran sedang. Dan semangkuk agar-agar.

"Aduh...tisunya cuman satu. Gimana dong?" Dia berkata sambil menatapku iba. Aku hanya diam. Memandangnya mengeluarkan selembar tisu. Membersihkan bangku. Kemudian menyilahkanku duduk.

"Bangkunya sudah bersih. Ayo, duduk."

"Terima kasih." Ucapku. Setelah itu kukatakan padanya tentang tujuanku menemuinya. Kukatakan bahwa aku jatuh cinta padanya. Kuungkapkan juga rencana dan mimpi-mimpiku. Cita-cita dan harapanku. Dan dia adalah pilihanku. Sebagai sayapku yang satu untuk terbang meraih impianku.

Matahari sebentar lagi rebah ke pangkuan malam. Dedaunan melambai. Barangkali haru. Perasaanku lega. Tapi di balik itu, dihantui takut. Harap. Juga cemas. Aku kemudian mohon diri.

"Terima kasih, karena menyayangiku. Tapi, beri aku waktu." Katanya.

"Aku akan menunggu." Ucapku. Kutatap matanya. Teduh. Dia menunduk.

"Ini, agar-agarnya dibawa. Kasian kan, entar di sini nggak ada yang makan." Dia menyodorkan semangkuk agar-agar itu. Aku jadi salah tingkah.

"Sudah, bawa." Ucapnya lagi. Aku tersenyum menerimanya. "Terima kasih." Aku berlalu. Berselendang doa, kukayuh langkahku. Semoga...Semoga dia adalah sayapku yang satu. Aku berbisik.

Nasi goreng cinta

Tiga siung bawang putih. Sebiji bawang merah ukuran sedang. Dua biji cabe merah. Dipotong tipis-tipis. Minyak goreng dua sendok makan. Masukkan bawang putih terlebih dahulu. Kemudian bawang merah. Lalu cabe. Dua ratus gram daging ayam yang sudah direbus. Campurkan ketumbar, sedikit lada, penyedap rasa, dan garam secukupnya. Berikan sedikit kunyit untuk menghasilkan warna kuning. Tuangkan nasi. Hasilkan nasi goreng yang nikmat.

"Gila men, kita makan enak sekarang." Aldo masuk dapur sambil mencomot ketimun yang kupotong rapi.

"He...sory aja yah. Ini buat bidadariku. Kalau mau, tuh bikin sendiri. Bahan-bahannya sudah ada."

"Ya ampun...segitunya yang jatuh cinta. Btw, Ini nasi goreng apa namanya?" Suara Aldo yang cempreng dikeraskan. Teman-teman yang sedang asyik nonton film berhamburan ke dapur.

"Wow, makan enak."

"Makan-makan."

"Tumben-tumben nih makan nasi goreng senikmat ini." Alfin menyantapnya tanpa beban.

"Nasi goreng apa yah?" Aris menatap nasi goreng penuh selera.

"Nasi goreng cinta..." Aldo, Aris, Alfin dan Riyan koor bersama. Aku hanya tersenyum melihat ulah mereka.

"Udah, entar malam saya bikinin kalian. Yang ini jangan disentuh. Ini khusus untuk bidadariku." Kututup mangkuk yang sudah kuisi nasi goreng.

Ups...hampir lupa. Sebagai penyedap mata. Letakkan ketimun dan tomat yang sudah dipotong rapi. Taburkan sedikit daun seledri.

"Sip...biar nggak malu balikin mangkuk agar-agarnya."

Ini hari Kamis. Bidadariku biasanya puasa sunah. Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuknya. Walau hanya semangkuk nasi goreng, yang entahlah aku juga tak tahu rasanya. Enak? Atau?

Selembar tisu dan sore yang bisu

Siang menggarang. Matahari bersinar terang. Panas serasa memanggang. Tapi panas di kampungku, di Lombok, tidak seberapa dibanding Kairo. Aku merasakan puasa di Kairo luar biasa beratnya.

Ini adalah kali pertama Ramadhan di Lombok, setelah lima belas tahun aku merantau. Lima ramadhan kulalui di Kairo. Dua ramadhan kusia-siakan. Tiganya lagi kuisi dengan doa. Bidadariku menuntunku untuk selalu dekat dengan-Nya. Tiga tahun itu adalah masa menungguku. Dan jawabannya adalah ijab kabul pernikahan kami, dilaksanakan di depan ka'bah.

Lima Ramadhan lagi kunikmati di negeri yang sangat dingin. Selesai S1 di fakultas sastra arab al-Azhar, kulanjutkan kuliahku di Moskow. Sinematografi dan perfilman adalah salah satu dari sekian banyak mimpiku. Aku adalah orang Indonesia kedua yang lulus dengan predikat cumlaude, setelah Suman Djaya. Penulis skenario film berjudul AKU yang sangat terkenal itu.

Lima Ramadhan berikutnya, kuhabiskan di kampung istriku. Seperti Nabi Syu'aib yang meminta Musa tinggal bersamanya selama sepuluh tahun. Mertuaku ternyata mensyaratkan setengah dari apa yang dilakukan Musa. Setelah selesai studi aku tinggal di kampung istriku lima tahun.

Sepuluh tahun usia pernikahan kami. Sepuluh Ramadhan bersama bidadariku. Sepuluh tahun hidup meraih cita-cita dan impian bersama. Sepuluh tahun meniti karir hingga kami bisa membangun perpustakaan umum, pusat belajar, sanggar drama, juga aku yang sudah menjadi orang ternama dalam dunia film dan sastra. Sepuluh tahun dalam bingkai suci dengan dua putra dan seorang putri. Sepuluh tahun aku berusaha untuk membuat bidadariku selalu tersenyum. Hingga akhrinya...di siang yang terik ini. Di Ramadhan pertama di kampung halamanku. Mimpi buruk itu terjadi.

Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menjadi sangat marah. Aku tidak bisa mengontrol emosi. Mungkin karena terlalu capek. Selesai sahur tadi pagi, aku menyelesaikan skenario film yang akan kugarap di Jepang. Film berjudul, "Tatta Hitotsuno Takaromono (satu-satunya milikku yang sangat berharga)" durasi satu jam. Selesai subuh mengisi pengajian. Menerima tamu. Membantu bidadariku mengurus Albert, Segara, dan Gaitsa. Jam delapan meluncur ke Universitas Mataram. Memberikan kuliah sastra bagi adik-adik mahasiswa. Kajian tokoh membahas Naguib Mahfuzh. Terakhir harus bertemu dengan Nakamura, sutradara asal Jepang rekan kerjaku nanti. Dan inilah biang masalahnya. Pertemuanku batal karena aku ditilang karena tidak bawa surat-surat mobil juga SIM. Benar-benar sial.

Mobilku memasuki halaman rumah. Bidadariku sedang menyiram bunga di taman. Kuturun dari mobil dengan muka masam. Tidak ada senyum. Tidak ada sapa untuk bidadariku. Pintu mobil kubanting keras. Brak...!!!

Kuhampiri bidadariku. "Siapa yang beres-beres mobil?" Suaraku lantang. "Semua urusan berantakan! Nakamura tidak bisa saya temui. Berapa uang melayang? Bisa-bisa dia tidak mempercayai saya lagi. Ngapain juga kamu beres-beres mobil. Itu kerjaanya Pak Udin. Kalau kamu mengurus pekerjaanmu, tidak akan begini. Mobil ditilang. Besok saya harus ke polres. Bla...bla...bla..." Aku masih saja ngomel sendiri. Kulihat wajah bidadariku sembab. Dia menangis.

"Maafin, Cinta. Cinta lupa." Hanya kalimat itu yang keluar sambil sesenggukan.

"Sudah begini, bisanya cuman nangis." Kemarahanku makin menjadi. Bidadariku menghambur ke kamar.

Aku cuek. Aku pergi ke rumah ibu. Anak-anak tidak ada di rumah. Berarti sedang main bersama nenek dan kakek mereka.

Kulihat anak-anak bersama kakek mereka. Aku ke dapur. Melihat ibu masak.

"Masak apa, Bu?"

"Masak gulai. Kesukaanmu. Kok sendiri? Cinta mana? Panggil ke sini, kita buka puasa bersama."

"Ah...biar saja dia di rumah."

"Lo...kok? Kalian tengkar? Kamu marah sama Cinta. Ya Allah, apa salah istrimu kok sampai begini? Mentang-mentang kamu sudah jadi orang, sikap kamu berubah padanya? Katanya dia bidadari penyelamatmu. Dia yang selalu membantumu. Dia yang selalu membuat kamu kuat. Tabah. Dulu waktu di Kairo, setiap kali nelpon kamu cerita kebaikan dia. Ini balasan untuknya? Dasar laki-laki tak tahu diuntung. Sana minta maaf. Jangan makan di sini."

Kata-kata ibu benar-benar menghunjam di ulu hatiku. Menohok. Kupulang ke rumah dengan berjuta penyesalan. Kulihat dapur kosong. Bidadariku benar-benar tersakiti. Aku tidak tahu mesti bagaimana mengobati perasaannya yang terluka.

Kunyalakan kompor. Mengambil penggorengan. Nasi sudah ada di magic jar. Oh...aku ingat. Nasi goreng cinta. Kubuka lemari es, agar-agar kesukaan istriku. Sebentar lagi adzan magrib. Kumandi kemudian berpakain rapi. Memasang jas hadiah ultah dari bidadariku. Kurogoh sakunya. Dan...selembar tisu sisa terawih tadi malam.

Kuketuk pintu. Tidak ada jawaban. Kubuka perlahan. Bidadariku sedang bersimpuh di sajadahnya. Kududuk di hadapannya. Kuambil tisu dari saku jasku.

"Sayang, maafin Papa yah. Papa khilaf. Papa salah." Kuusap pipi lembut bidadariku.

"Cinta yang salah. Bukan Papa." Bidadariku rebah di pangkuanku. Dia mencium tanganku.

"Kok tisunya cuman satu?"

"Kan Papa mau mengenang saat pertama kali menemuimu, Sayang." Kukecup kening bidadariku.

"Nasi goreng sama agar-agarnya juga?"

Aku hanya tersenyum. Adzan magrib berkumandang. Kusuapi bidadariku. Pintu terbuka. Anak-anak berhamburan ke pelukan kami.

"Mama, mama. Kata nenek, selesai lebalan, kita pelgi ke lumah nenek di Jawa pakai pesawat iya?" Gaitsa merajuk.

"Kok Mama nangis sih? Mama sedih iya?" Lanjutnya.

"Mama kangen sama kakek dan nenek di Bandung." Jawabku. Cinta; bidadariku mencubit lenganku■

No comments: