Tuesday, October 23, 2007

Telepon

Pagi hari yang tenang. Kubuka jendela kamarku yang berhadapan dengan kamarnya --seorang gadis anak tetanggaku--. Aku sudah lama memendam cintaku. Dan inilah saat yang tepat untuk mengatakan gundah gulana yang mengguncang hatiku. Aku menekan tombol telponku.
Telepon di kamarnya berdering. Dia berjalan dengan malas menuju meja teleponnya. Telepon yang tergeletak dengan manja, dia angkat dengan bergairah. Ritmis keindahan yang menggoda.
"Hallo…"
"Iya, hallo.", kataku.
"Ini siapa?", tanyanya.
"Ini aku."
"Perlu bicara dengan siapa?"
"Aku perlu bicara denganmu."
"Tapi aku tidak tahu siapa kamu."
"Apakah kamu berkepentingan untuk tahu siapa aku?"
Kurasa ini caraku yang paling tepat untuk menjebaknya. Supaya dia tak lagi mengintrogasiku dengan pertanyaan-pertanyaan nakal.
"Ok. Kalau begitu apa maumu?"
"Aku mau mendengar suaramu."
"Kurang ajar!!!"
Dia sepertinya tidak bisa menahan diri lagi.
"Oh sorry. Apa ada yang salah denganku?"
"Apa aku tak boleh mendengar suaramu?"
"Atau kamu sedang sangat lelah?"
"Aku akan kembali meneleponmu besok pagi"
Telepon ditutupnya dengan kasar. Aku tak tahu apa yang dia lakukan setelah itu. Tapi menurutku, malam itu dia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Dia masih sibuk mengingat-ingat suaraku. Bertanya-tanya siapa aku. Mungkin juga dengan persepsi yang bertentangan dia mulai menganalogikan diriku dengan bahasa hati. Atau yang akan paling tidak sopan, jika dia sudah berani mengkhayalkan aku dengan nafsu. Membayangkan… aku setampan Leonardo de Caprio dengan body atletis setara Brad Pitt. Aku tak tahu!!! Yang jelas dia paling tidak melakukan salah satu dari apa yang aku perkirakan. Kecuali kalau dia memang serakah dengan melakukan semuanya. Semoga saja sifat seperti ini tak berlaku padanya.

*******

Pagi yang cerah. Secerah wajahnya yang memerah. Udara pagi yang memukau malu-malu bermain dengan rambutnya yang terurai. Dari jendela kamarnya, kulihat dia termenung memandang mawar yang mulai merekah di taman. Dia mencoba menghibur hatinya yang galau dengan berjinjit di antara kamarnya yang luas. Vas-vas bunga yang berjejer rapi dengan harum melati mengundang sekawanan kupu-kupu untuk bertandang. Dia mengintipnya. Ingin menangkap kupu-kupu yang jelita. Seperti aku yang kini mengintip hatinya. Berusaha mencari celah untuk mendapatkannya. Menjadi milikku. Oh…..
Buku-buku kuliahnya sudah ia siapkan. Aku belum juga menelponnya. Bercanda dengan kupu-kupu tidak membuat keresahannya kemudian hilang. Dia lalu berusaha mengalihkan kegalauannya dengan berpura-pura menjadi seorang mahasiswi yang rajin. Seperti kelakuan anak sekolah dasar yang takut diberdirikan di depan teman-temannya. Tugas dari pak guru yang harus dikerjakan memaksanya untuk membuka buku sebelum berangkat ke sekolah. Dia memang tidak diberikan tugas seperti siswa berpakaian merah-putih itu. Tetapi perasaannya-lah yang paling berkepentingan untuk memaksanya melakukan hal-hal seperti itu.
”Kring….kring….", telepon berdering.
Dia menyambar gagang teleponnya. Tergesa-gesa.
"Cepat katakan apa yang kamu mau. Aku menunggumu dari tadi"
"Maaf non. Saya mau bicara dengan bapak!"
Ah…ternyata bukan telepon dariku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana malunya waktu itu. Wajahnya pias memerah. Dia salah tingkah. Memanggil pembantunya.
"Bapak ada telepon, Bi," katanya. Dia berlalu. Membiarkan badannya yang tinggi semampai pada pelukan kursi yang empuk.
Suasana hening sejenak. Tidak ada suara. Yang ada hanyalah desah nafasnya.
"Kring…kring…", telepon kembali berdering. Dia mengangkat teleponnya dengan hati-hati. Menjawabku dengan sopan. Dia khawatir kalau yang meneleponnya kali ini bukan aku.
"Halo Rielza", sapaku. Tidak seperti biasanya. Kali ini aku yang memulai pembicaraan.
"Iya, saya sendiri"
"Pa kabar?"
"Baik"
"Please. Katakan apa yang saudara inginkan"
"Iya. Aku memang tak biasa berbasa-basi"
"Lalu mengapa kamu tidak katakan dari tadi malam"
"Katakan apa?" aku pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan.
"Jangan buat aku marah!!!" dia mulai mengancamku.
"Maksudmu?"
"Cepat katakan tujuan kamu menelponku"
"Aku mencintai kamu"
Glek!!! Telepon kututup. Aku sudah puas. Aku sudah mengatakan apa adanya. Aku sudah menyampaikan sesak dadaku. Dan dia telah mendengarnya. Dengan jelas. Sempurna. Dia sudah tahu keinginanku. Sudah mengerti alasanku meneleponnya. Sudah faham tujuanku menghubunginya. Sekarang saatnya dia menyimpulkan. Menerima atau menolak. Itu saja. Tidak lebih.
Sekarang, aku hanya tersenyum geli mengingat hal bodoh bagaimana aku jatuh cinta kepada gadis manis anak tetangga di bawah apartemenku. He…he…dia dah kawin kemarin. Busyet deh!!!

No comments: