Tuesday, October 23, 2007

Perempuan-perempuan

Malam menjaring belalang. Sunyi. Senyap. Aku sendiri terpenjara. Tersekat oleh musim dingin. Hanya bayanganku di sebalik sinar waktu yang tak pernah mengijinkan diriku untuk merasa sendiri. "Aku selalu mengiringi langkahmu," katanya berbisik. Dan aku hanya bisa tersenyum. Mungkin senyum itu sering diartikan sebagai tanda bahagia. Ah...aku tak memikirkan hal itu. Tetapi dalam hati, diam-diam aku berpuisi. "Senyumku tak lain kecuali sebuah penghiburan diri!"

Baru tadi pagi, aku menangis. Bukan mataku. Tapi jiwaku. Jiwakulah yang menangis. Apalah artinya kalau indah bola mata meneteskan air bening, kalau jiwamu tak juga menangis? Palsu!

Aku menangis. Dan seperti biasa, hanya angin yang tahu aku menangis.

"Kamu menangis?" angin menyelinap melalui daun jendela di kamarku. Sorot matanya menudingkan pisau belati. Heran. Mungkin juga ia tak percaya.

"Aku telah kalah. Aku tak mendapatkan apa-apa kecuali penyesalan. Malam seribu bulan pun kubiarkan tergeletak. Badai menyergapnya kembali ke langit."

"Kau boleh menyesal. Tetapi kau harus sadar, Tuhan sama sekali tak mati setelah bulan puasa itu pergi. Malaikat pun tak pernah cuti untuk mengawasi langkahmu. Atau kau telah menggantungkan takutmu pada Tuhan hanya sebulan itu saja. Sangat kerdil! Itu sama saja kau lebih takut pada bulan puasa dari pada Tuhanmu."

Aku mendengar nyanyian seruling dari abad purba. Angin berlalu. Dan aku pun kembali menangis. Kau tentu tak akan pernah tahu hal ini wahai perempuan, teriakku pada burung dara yang bergurau dengan kekasihnya di depanku. Aku jadi cemburu.

*****

Aku sedang bertamu di rumah sahabatku. Bertamu? Aku menumpang! Barangkali hidupku tak lebih dari sebuah tumpangan. Maka aku menyuruh seorang perempuan yang menanyakan nomor telepon rumahku, untuk mencatat namaku saja. Aku tak pernah diam di satu tempat.

"Kamu nomaden?"

"Barangkali," jawabku.

"Kok barangkali. Kalau berpindah-pindah itu kan jelas nomaden," katanya ngotot seolah-olah aku tak tahu arti nomaden.

Aku tersenyum.

"Kamu ini aneh," lanjutnya.

"Mungkin," kataku singkat.

"Masih bilang mungkin? Dasar!"

"Dasar apa? Dasar sungai, laut, samudra. Atau kau menanyakan apa yang ada di dasar hatiku."

"Sulit memang ngobrol dengan penyair. Kata-katanya terlalu jauh untuk dijangkau. Kata-kata yang asing," cerocosnya ketus.

"Kau saja yang terlalu egois. Kau tak pernah mau memahami keadaanku. Tapi itu, aku tak perduli. Karena hidupku terlalu gersang untuk membawa bunga seindah kau, maka kau tak perlu melakukannya."

*****

Suara musik mengalun. Malam tak lagi sunyi. Tetapi mengapa hatiku masih juga sepi? Telepon di kamar itu berdering. Tanganku yang kasar mengangkat gagangnya dengan malas.

"Maaf, boleh berbicara dengan..." suara seorang perempuan. Dia masih mengingat-ngingat sebuah nama ketika aku berkata, "Ternyata anda masih membeda-bedakan dengan siapa anda harus berbicara. Apakah manusia di mata anda telah menjelma angka-angka, sehingga ketika berbicara anda masih menghitung sepuluh ribu. Dua puluh ribu. Atau mungkin juga milyar."

Hening.

"Sory," katanya sendu. Aku jadi merasa sangat berdosa pada perempuan itu.

"Hehehe," aku tertawa. "Kau tak perlu meminta maaf. Bukankah hati terlalu suci untuk menyimpan benih-benih benci," lanjutku.

"Kamu suka puisi ya?" suaranya dengan nada ceria. Aku tak tahu dari mana dia mendapatkan anugerah sehingga nada suaranya, tak menggambarkan suasana yang canggung lagi.

"Iya," jawabku singkat.

"Kamu kenal Kahlil Gibran?"

"Ia adalah jiwaku. Jiwa yang terasing. Kairo dan Al-Azhar tak pernah mampu membuat diriku berpaling dari Indonesia."

"Kalau Chairil Anwar?"

"Ia adalah hidupku. Hidup yang liar. Diri yang terlempar. Menjadi kelelawar. Malam dan kelam tak boleh membuatku gemetar. Walaupun sebenarnya aku ditebas-tebas istigfar."

"Sapardi Djoko Damono?"

"Ia adalah lidahku. Lisan yang mengalirkan kata-kata romantis. Yang dengannya aku dituduh tukang gombal. Tukang pikat perempuan. Karena manusia telah sepakat bahwa lelaki suka bergombal dan perempuan menikmati kegombalan itu. Mata kemudian memandangku dengan sinis. Sebuah nasib yang malang bukan?"

Perempuan itu masih mengobrol denganku. Barangkali dia telah lupa, kalau dia sebenarnya tak mencari aku waktu menelepon tadi. Aku mau menanyakan hal itu. Tapi tak jadi, karena pertanyaannya tak pernah selesai.

"Kamu dari mana?"

"Aku berasal dari surga."

"Serius nih," memelas.

"Aku dua rius," sambil tersenyum menatap rembulan yang mengintip.

"Maksudku, setelah dari surga kamu di mana?"

"O...aku di rahim ibuku."

"Kamu ini gimana sih?"

"Emang benar kan. Setelah dari surga, kita semua dititipkan Tuhan di rahim ibu masing-masing. Terus apanya yang salah?"

"Iya...sudah. Aku mengalah. Bukan berarti kalah lho. Kalau sekarang kamu tinggal di mana?"

"Pelukan yang dingin."

"Indah sekali. Aku pengen ikut ke sana. Kamu mau nggak aku ikut denganmu? Tempatnya pasti bagus banget."

"Pelukan yang dingin itu tidak pernah berbentuk tempat yang bagus. Ia semacam surga yang berjalan di otakku. Kau akan kesulitan mencari, apalagi menempatinya. Tapi aku akan membawamu menempati tempat itu jika kau memintanya."

"Terus kapan kita pergi?"

Aku tak melanjutkan percakapan mengenai alamat tempat tinggalku karena tiba-tiba jaringan teleponnya teruputus.

*****

Pagi yang cerah. Secerah pipi perempuan yang memerah. Aku duduk di balkon. Secangkir kopi Lampung dan sebungkus Dji Sam Soe, oleh-oleh teman yang baru datang dari Indonesia menemaniku menikmati koran pagi. "1000 orang mahasiswa Indonesia membanjiri kota Kairo," headline Al-Ahram menggelitik mataku untuk membacanya.

Aku hanya sepintas membaca berita itu. Di antara kalimat yang sempat kubaca, sebelum akhirnya kutinggalkan karena ada telepon untukku adalah: "Ternyata tujuan mahasiswa Indonesia ke Mesir tak hanya menuntut ilmu agama. Banyak dari mereka justru terpikat karena cerita dari mahasiswa lama. "Aku ke sini mau menuntut ilmu sambil mencari pekerjaan. Katanya, di sini pekerjaan mudah," ungkap Adi. Aku tersenyum. "Jadi tukang jual ful sama isy mudah men," teriakku sambil menghisap Dji Sam Soe yang telah lama kurindukan.

Yang lebih menarik lagi justru setelah kalimat itu. "Denger-denger nikah di Mesir mudah juga murah-meriah. Makanya sekalian deh aku berangkat. Nuntut ilmu dan cari istri. Siapa tau jodohku emang ada di sini," seloroh Joni sambil cengengesan. Lain Joni lain pula Udin. "Kalau gue, nggak ada hubungannya ama cewek-cewek Indonesia di Mesir yang katanya mudah dinikahin. Gue pengen liat cewek-cewek Mesir yang cuaaantik, seksi, bahenol. Kali aja ada durian jatuh. Kan lumayan," kata Udin ketika ditemui Al-Ahram di Wisma Nusantara. Aku tertawa.

Aku tahu sebenarnya jawaban mereka seharusnya bukan itu. Jawaban mereka justru mengundang linangan airmata. Tetapi mereka tak pernah mengatakannya. Barangkali jawaban itu hanyalah gurauan. Sebagai selingan karena penat kepala menghadapi sejuta malapetaka di negeri yang menjelma ladang dusta. Bangsat! Negeriku telah menjadi milik pribadi segelintir orang-orang keparat terlaknat. Maka aku menciptakan puisi untuk mereka. Koruptor! Mereka yang tak hanya maling harta negeriku, tapi juga mencopet harga diri rakyat Indonesia. Aku ingin potong lidah-lidah yang berbohong itu. Tapi aku tak pernah bisa. Hanya sebuah puisi:

UNGKAPAN BELASUNGKAWA ATAS KEMATIAN SANG KORUPTOR
-alhamdulillahisy-syukur-
(mampus aja lo, nyahok tuh di neraka)

*****

Panggilan telepon untukku dari seorang peremuan.

"Kamu sedang ngapain," tanya perempuan itu.

"Aku sedang menikmati senyummu."

"Emang senyumku bisa kamu nikmati?"

"Bisa."

"Kan kamu nggak melihatku."

"Ada potomu di kamarku. Walaupun di hatiku senyummu kusimpan rapi, rasanya nggak lengkap kalau nggak melihat....Yah, semacam potomu itu."

"Dapat dari mana potoku?"

"Dari takdir. Mungkin Tuhan sedang menjodohkan kita. Rasanya aku selalu mengingatmu. Apa aku jatuh cinta?"

Dia tertawa.

"Abis ini, kamu mau ke mana?"

"Nggak ke mana-mana. Paling di sini aja."

"Ngapain?"

"Bikin cerpen."

"Gimana keluarga? Dah nelpon belum?"

"Udah. Tadi malam ibu nelpon. Beliau nitip salam untukmu."

"Makasi. Kalau bapak?"

"Bapak udah kaya. Makanya lupa ama aku."

"Jangan gitu ama orang tua. Nggak baik. Mungkin belum sempat aja."

Ah...betapa hatiku sejuk mendengar kata-katanya.

"Gimana cerpennya? Boleh tahu nggak judulnya?"

"Jangankan judul cerpen. Bahkan nyawaku pun boleh kau minta."

"Basi ah!" Datar.

"Suer. Apa pun yang kau minta, akan aku berikan." Tegas.

"Iya...udah. Judulnya apa?"

"Perempuan."

"Cuman itu?"

"Yup."

"Kok kamu sering menulis cerpen tentang perempuan sih?" sedikit manja.

"Karena surga berada di bawah kaki perempuan."

"Cuman itu?"

"Kok itu kau bilang cuman?. Alasan yang istimewa bukan?"

"Nggak ada yang lain?"

Aku mengerti. Dia sebenarnya minta jawaban ini.

"Karena aku mencintai seorang perempuan. Dan perempuan itu adalah kamu." Tapi aku tak mengatakannya. Biarlah dia sendiri mengartikan sikapku selama ini padanya. Bukankah cinta disampaikan tak hanya lewat kata-kata?

*****

Matahari masih menyisakan sepotong senja untukku. Aku duduk di pinggiran sungai Nil. Menatap air yang mengalir. Tiba-tiba aku berangan-angan menjadi air. Hidup mengalir tenang. Apa adanya. Tak kusadari, seorang perempuan berdiri di sampingku.

"Hai..." dia menyapaku.

Aku tak menjawab. Aku hanya tersenyum menatapnya. Dingin.

"Kok kamu di sini? Nggak ke KBRI? Kan di sana lagi open house."

"Aku capek. Penat. Aku ingin sendiri."

"Kenapa?"

"Aku selalu kesepian di tempat ramai. Dan aku takut pada keramaian."

"Waw..." takjub. "Bukankah itu puisinya Kahlil Gibran?" lanjutnya.

"Mungkin. Tapi itu adalah hidupku."

"Ngapain aja di sini?"

"Melihat air." Menunjuk ke arah sungai.

"Hanya itu?"

"Sekarang nggak lagi. Sekarang aku sedang ditemani seorang perempuan." Dia pun tersenyum.

"Maaf aku mau pulang," kata perempuan itu sambil berlalu meninggalkan diriku. Aku hanya menatapnya penuh penyesalan. "Ups...aku telah mencintai gadis yang potonya di kamarku," kataku sambil tersenyum menatap matahari yang menari pergi. Malam pun datang.

Kairo, 19:26 7 Nov 2005

No comments: