Tuesday, October 23, 2007

Kertas

Tidak ada yang istimewa dari kertas itu. Kertas lusuh. Potongan kwitansi tagihan telepon international. Kertas yang terjepit di antara lembaran buku 'aku tahu aku akan mati di laut'. Buku kumpulan cerpen guru saya, Cecep Syamsul Hari. Guru yang sampai saat ini, belum bisa saya temui. Guru yang tidak tahu bahwa ada orang seperti saya yang menjadi muridnya. Orang yang tidak menetek dari susu ibunya, juga tak bersandar di dada ayahnya. Seorang jelata yang dilahirkan alam dari kesunyian. Karena saya sendiri adalah sepi.

"Apakah ibumu meninggalkanmu terlantar?"

"Bukan demikian. Sayalah yang lari darinya. Terlalu banyak saya menyusahkannya. Saya jadi merasa tidak tega enak-enakan menetek. Padahal ibu juga harus hutang untuk mengkonsumsi makanan bergizi. Kata dokter, demi kesehatan saya."

"Lalu mengapa juga dengan ayahmu?"

"Inilah yang ingin saya katakan. Kebanyakan manusia di dunia ketiga dididik oleh sinetron cengeng. Ibu-ibu lalu bermimpi menjadi cinderela istri pangeran. Ayah dipaksa supaya kaya mendadak. Padahal ratapan orang-orang terbelakang tidak juga tembus langit ketujuh. Setelah itu anak-anak menjadi orang yang paling lelah menghadapi ratapan. Dan saya tidak mau seperti itu. Saya berlari ke jalanan dan pulang ke lingkaran kesepian."

Seperti kesepian kertas yang terjepit di buku itu. Kesepian yang kemudian menjelmakan kata-kata yang tertulis di dalamnya. Lalu kertas itu akan menjadi sangat istimewa seandainya yang membacanya adalah seorang Plato atau Kahlil Gibran. Karena saya sangat yakin dunia akan tercengang dengan kata-katanya yang lebih mengandung sabda-sabda filsafat fatalis. Sedangkan Plato atau Kahlil Gibran adalah tipe manusia masa depan yang sangat optimis menghadapi alur kehidupan.

Ah…betapa sepinya hati yang tidak mengandung jiwa optimis. Seperti hati si dara jelita yang menulis di kertas lusuh potongan kwitansi itu. Saya tahu bahwa yang menulis itu seorang gadis karena guritan lentik kata-katanya seperti ini: "Nanti aku ditinggalinlah."

Saya jadi mengambil sebuah kesimpulan konyol dari kalimat ini. Seorang lelaki tidak akan pernah ketakutan untuk ditinggalkan. Justru yang saya tahu kebanyakan lelaki memang suka meninggalkan. Entah meninggalkan kampung halamannya untuk mencari masa depan. Meninggalkan pacarnya yang hamil di luar nikah untuk lari dari tanggung jawab. Atau mungkin juga meninggalkan anak istrinya karena mencari daun muda. Atau seperti tulisan di atas. Ungkapan jiwa yang belum yakin bahwa kebersamaan akan terus mendekap dia dengan sang lelaki terkasih. Ratapan seorang perempuan yang takut ditinggalkan sendiri.

(Setelah kalimat itu, tertera nomer telepon dengan tiga angka di awalnya yang tersusun dari bilangan genap, kemudian ganjil, setelahnya lagi ganjil). Semulanya saya berpikir untuk menelpon saja ke nomer tersebut. Tapi ada keraguan yang mengurungkan niat saya. Pikiran-pikiran yang menurut saya cukup menjadi sebuah pertimbangan.

Bagaimana kalau yang punya nomor telepon itu adalah seorang perempuan? (Saya tidak biasa untuk mengatakan wanita atau cewek. Karena kata perempuan bagi saya mempunyai arti klasik yang sangat tenang dan damai dibandingkan kata wanita atau cewek). Setelah itu lalu saya jatuh cinta karena mendengar suaranya yang indah. Dan inilah yang sangat saya takutkan. Juga karena pertimbangan bahwa untuk menelponnya saya harus membeli kartu telepon. Rumah saya tidak dilengkapi perangkat modern semacam telepon. Bumi adalah rumah tanpa apa-apa selain duka dan nestapa. Dan saya tinggal di sana.

"Bagaimana kertas yang kemarin? Bagaimana nomer teleponnya? Kok kamu tidak lacak saja, siapa orang yang menulisnya?"

"Saya bingung. Dunia sudah sangat penat dengan kata-kata keji. Saya tidak ingin berpartisipasi membangun peradaban dosa. Saya takut. Saya tidak mau menyinggung perasaan orang lain."

"Kamu akan menyinggung perasaan orang lain? Masa cuman bertanya menyinggung perasaan?"

"Saya susah mengatakannya. Tolong jangan paksa saya. Saya sangat tertekan. Selain biaya hidup yang semakin memaksa untuk semakin bertawakkal, saya juga ingat adik saya di rumah."

"Adikmu? Ada apalagi? Setelah ibu, ayah, sekarang kamu puyeng karena adikmu. Sudahlah! Kamu kelihatan tua dengan beban yang semakin banyak. Biarkan Tuhan yang mengaturnya?"

"Kamu tidak akan memahami persoalan saya. Kamu menyuruh saya melupakan beban yang saya pikul. Setelah itu kamu meminta saya menyerahkan persoalan kepadaNya. Tidakkah kamu lihat saya telah jauh sekali meninggalkanNya? Pantaskah saya meminta untuk diberikan waktu untuk sekedar negosiasi membicarakan masalah saya? Saya malu padaNya."

"Jangan berprasangka buruk. Tuhan akan selalu menerima hambaNya walaupun datang dengan selangit dosa. Tenangkan pikiranmu dengan do'a. Berdzikirlah untuk menyucikan jiwamu dari hiruk-pikuk dunia fana ini."

Oh…saya tidak bisa lagi tenang. Ternyata selama ini saya telah menaruh Tuhan dalam daftar sepuluh bahan pokok. Sebagai pelengkap setelah bahan pokok yang sembilan. Alangkah kejinya diri saya. Saya tidak tahu harus berlari ke mana. Apakah saya harus berlari ke jalanan dan pulang ke lingkaran kesepian? Hanya kebisuan yang memberi jawaban.

Sudah seminggu lebih saya mendiamkan kertas lusuh itu di diari saya. Saya, entahlah mungkin dari jiwa (sok) kebersenian saya yang unik, mengurungkan segala niatan untuk memusnahkan kertas itu. Sama sekali tidak terbersit di dalam hati saya, memisahkan diri dari kertas lusuh itu. Saya kadang berpikir, barangkali seperti kertas inikah jiwa saya. Lusuh. Lemah. Tak berdaya. Juga tak berarti. Kecuali bagi orang-orang yang menganggap kelusuhan adalah misteri. Maka dia tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan untuk meninggalkannya. Tetapi berusaha menyingkap, rahasia apakah di baliknya?

"Kamu ini aneh. Masa kertas lusuh yang nggak ada gunanya masih saja disimpan. Apa sih manfaatnya? Nggak ada kan! Sudahlah jangan terlalu banyak mengisi otakmu dengan hal-hal konyol seperti ini." Seorang teman yang kebetulan tahu seluk-beluk kertas itu mengumpat.

"Justru itulah saya. Banyak hal-hal kecil di dunia ini dibiarkan terbengkalai oleh mata orang lain. Termasuk kertas ini di matamu. Tapi bagi saya, ini semacam pelajaran ilmu jiwa yang tidak bisa saya dapatkan di ruang kuliah. Jadi, saya akan menganalisa tulisan-tulisan di kertas ini sampai saya bisa menemukan jawabannya. Suatu hal yang konyol bagimu. Bukan bagi saya".

Saya membuka kembali kertas itu. Saya sudah tidak tahan untuk tidak membacanya lagi. Saya mencoba menyusunnya kembali menjadi lembaran yang utuh. Di luar kesadaran saya, beberapa hari yang lalu kertas itu saya sobek menjadi empat bagian.

Sekarang genap dua bulan kertas itu bersama saya. Di sela-sela munajat saya, kertas itulah yang paling setia menemani saya.

Saya pandangi kertas itu. Saya heran. Saya terharu. Dan sekuntum senyuman tersungging ketika saya membaca semua coretan di kertas itu.

(Di pojok kanan bagian atas, coretan-coretan membentuk siku-siku. Setelah itu, tertulis sebuah nomor telepon, 271XXX. Lalu di pojok kiri bagian atas tertulis, "nanti aku ditinggalinlah". Dan di bawah kalimat itu, dua kalimat lain menyusul.
"Siapa saja di rumah, Bang?"
"Abang lagi ngapain?"
Setelahnya coretan-coretan tak beraturan memisahkan dua kalimat itu dengan kalimat penutup, "Apa yang Abang sukai dari aku?").

Benar-benar menakjubkan. Dan saat ini, saya tidak merasa aneh atau sungkan untuk sekedar tahu, ada apakah di balik semua tulisan itu?

Saya berjalan ke tempat pelayanan jasa telekomunikasi. Saya berikan nomor telepon yang tertera di kertas itu kepada operator. Lalu ia menekan tombol-tombol telepon kemudian memberikan saya gagang telepon.

"Halo, ee…maaf mengganggu". Saya agak gugup saat itu.

"Iya…halo. Nggak apa-apa kok," suara seorang perempuan. Sangat indah. Jantung saya serasa berhenti berdetak.

"Saya cuman mau tanya, ada kertas tertinggal di dalam buku…(kemudian saya ceritakan semuanya. Buku tempat saya temukan kertas itu. Tulisan-tulisan yang tertera, dan tanpa terasa saya sudah lima belas menit berbicara). Maksud dari tulisan itu apa ya?"

"O…jadi kamu mau tahu maksudnya". Perempuan itu kemudian mulai bercerita. Ketika di Indonesia ia bertunangan dengan seorang lelaki sholeh. Sedangkan dirinya merasa belum mencapai standar wanita sholehah. Lelaki itu kemudian membimbingnya dengan sangat sabar untuk memahami agama. Sayang, mereka berpisah. Tunangannya itu berangkat ke Mesir untuk kuliah di al-Azhar. Setahun kemudian perempuan itu menyusul. Tak pernah terbayangakan, ternyata tunangannya telah menikah dengan wanita lain. Suara tangisnya sesenggukan. Parau.

"Sudahlah. Kamu harus sabar dan tabah," saya berusaha menghiburnya.

"Maukah kamu membantu aku menyempurnakan setengah agama itu?" katanya.
Tenggorokan saya tercekat. Saya tak bisa berkata. Saya terdiam. Apakah Tuhan sedang menganugerahkan saya calon istri sholehah? Calon istri yang akan membimbing saya menuju cintaNya. Saya jadi bertanya-tanya, apakah saya sedang sadar ketika mendengar kalimat itu? Apakah saya sungguh-sungguh sedang mencari perempuan yang akan menjadi bidadari penyelamat saya? Jangan-jangan saya justru sedang mencari imajinasi untuk membuat sebuah cerpen untuk saya kirimkan ke media massa.

Ah…kertas lusuh itu!
Kairo 25-Sept-2005

No comments: