Tuesday, October 23, 2007

Jiwa yang Terasing

::[Untuk adikku: Herman]

Baiklah, Her. Aku akan mencoba menulis tentang Mesir. Seperti yang selalu kau minta setiap aku menelepon, berkirim surat, atau chating: "Aku ingin Kakak bercerita tentang Mesir." Dan aku selalu mengelak bahkan menolak. "Kapan-kapan aku pasti akan cerita," begitu jawabku. Tentu cerita Mesir yang kau maksudkan bukanlah tentang cuaca, musim, batas negara, atau lainnya. Melainkan Mesir dalam persinggungan hidup Kakakmu yang terlantar ini bukan?

Keenggananku untuk tidak bercerita bukanlah tanpa alasan. Aku sudah tiga tahun hidup di Mesir ini. Dan semakin hari bayangan cita-cita yang dulu kucoba raih di sini, justru semakin hari semakin kabur dan tak jelas. Aku seringkali berkata pada diriku: "Aku telah tersesat. Tempatku bukan di sini!" Tetapi apa hendak dikata. Aku sudah terlanjur nelangsa. Maka kuterima saja suratan ini. Biarlah! Namun jika kau bertanya: "Apa itu artinya aku siap mati di Mesir ini?" Tentu jawabku tidak. Aku hanya ingin mati di pangkuan Ibu. Ibu, apa kabar kau hari ini?

Benar, aku hidup di Mesir. Tapi tak lebih hanya fisikku saja. Jasadku saja yang tinggal di negeri Musa ini. Lainnya jiwaku, anganku, pikiranku, tetaplah di Indonesia. Negeri yang entah sampai kapan akan menanggung beban derita. Ah...baiknya kita tidak usah mengingat-ngingat duka-lara bangsa. Itu membuat aku sangat bersedih. Itu membuat aku tak henti-henti meneteskan air mata.

Setelah tiga tahun di sini, aku baru sadar. Ternyata aku adalah manusia yang terperangkap dalam bingung. Sekian banyak peristiwa berlalu, datang silih berganti, saling mengejar dengan tergesa-gesa. Dan semua itu tak ada yang benar-benar kuhayati. Padahal bukankah hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang sia-sia? Sungguh malang. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Seperti baru kemarin aku berkata pada seorang gadis di sampingku, "Lihatlah. Pandanglah ke bawah. Tatap wajah negeri ini untuk terakhir kali. Sebentar lagi kita telah berada di langit, kemudian mendarat di tempat asing yang tak serupa dengan negeri kita. Menangislah. Aku akan mencatat bahwa kau menangis untuk Indonesia di depanku." Lalu gadis itu pun menuruti. Ia edarkan pandangnya. Jakarta. Indonesia. Selamat tinggal untuk sementara. Gulf Air pun bertolak. Tetapi gadis itu tidak menangis. "Kenapa kau tidak menangis?" tanyaku. "Barangkali air mataku telah habis. Sudah seminggu aku menangis." Aku terdiam mendengar jawabnya.

Itulah terakhir kali kutatap Indonesia dalam wajah aslinya. Lainnya berupa berita duka di surat kabar, juga televisi. Empat bulan di Mesir, Aceh dilenyapkan tsunami. Setelah itu berturut-turut, pesawat jatuh, kecelakaan kereta api, gempa bumi di Yogyakarta, laut pasang, banjir bandang, kapal laut tenggelam, dan lainnya. Dan sudah pasti telegram tentang korupsi yang semakin merajalela.

Adikku Herman. Adzan Dhuhur telah berkumandang. Aku harus menepati jani denganNya. "Ketika Dia memanggil, maka kita harus bergegas." Bukankah pada Ayah atau Ibu kita berlaku demikian. Jika iya, maka pada Sang Pencipta mesti lebih dari itu. "Sembahlah Allah, dan janganlah kau menyekutukanNya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah pada kedua orangtua." Aku pasti akan bercerita tentang Mesir. Tapi tidak saat ini. Kau tahu kenapa? Karena jiwaku masih menyatu dengan Indonesia. Sedang dengan Mesir, aku masih asing dan terasing. Titip salam untuk Ayah.

Kairo Sabtu 11:59 8 September 2007

No comments: