Tuesday, October 23, 2007

Jalan-jalan ke Akhirat

Judul buku : Masrur wa Maqrur

Penulis : Ahmad Bahjat

Penerbit : Dar ar-Rayyan litturats

Kategori : Cerita Islami

Jumlah hal : 79 halaman

"Ini bukanlah cerita," demikian pengakuan Ahmad Bahjat, penulis buku ini dalam kata pengantar. "Sungguh, cerita dimulai dengan kehidupan dan berakhir pada kematian. Jadi, alangkah baiknya kita namakan saja buku ini, sebagai sesuatu bukan cerita!" lanjutnya.

Sesuatu bukan cerita ini dimulai dari kematian kemudian berakhir dengan hari kebangkitan. Kejadian-kejadiannya kemudian berlanjut hingga kita berhenti di ambang dua pintu: surga dan neraka.

Tersebutlah di suatu zaman –barangkali zaman kitalah yang dimaksud, dua manusia bernama Masrur dan Maqrur. Dan seperti lazimnya sebuah hidup bagi umat manusia, maka keduanya pun menerima bagian masing-masing. Masrur adalah orang kaya. Bahkan terkaya di negerinya. Kalau pun dibanding dengan kekayaan Qarun, mungkin dia kalah sedikit saja. Lain halnya dengan Maqrur. Hidupnya susah dan terlunta. Apalagi dengan masa lalu yang suram sebagai perampok jalanan, Maqrur adalah pendosa. Tapi justru karena itulah ia sadar. Maqrur insaf bahwa ada tugas lain yang sebenarnya telah ia lalaikan, yaitu beribadah pada Allah.

Akan dirinya yang menduduki tahta, bergelimang harta, dan dikelilingi wanita, Masrur pun menjadi pongah dan lupa diri. Puncaknya, Masrur murka ketika tahu bahwa Maqrur telah bertaubat dan menyimpang dari agama sang raja.

"Kamu mengakui bahwa ada Tuhan lain selain tuhan kami, hah?" suara Masrur membentak. "Kamu bilang kita akan dibangkitkan dari kematian. Bukankah kamu yang bilang demikian?" lanjutnya geram dengan muka merah padam.

"Iya," jawab Maqrur polos. Maqrur tersenyum kemudian melanjutkan, "Tidakkah Tuan tahu bahwa Allah Maha Kuasa untuk membangkitkan orang-orang yang telah mati. Kita sebelumnya mati kemudian Allah menghidupkan kita. Kita pun dikembalikan pada kematian dan hendak dihidupkan lagi. Apakah Tuan meragukan ini semua?"

"Dari mana kau dengar kata-kata ini?"

"Dari seorang Nabi yang diutus di sebuah wilayah di timur jauh. Aku bertemu dengannya dalam sebuah perjalanan. Beliau telah memberi terang hatiku dengan kata-katanya. Aku pun sadar untuk bertaubat sejak itu. Sungguh, beliau adalah Nabi, Tuanku."

"Diam!" potong Masrur berteriak. "Tuduhan tidak berubah. Hukuman apa yang akan ia terima, Hakim Agung?"

"Terdakwa bebas! Apa yang dikatakan Nabi itu benar," bela Hakim Agung tanpa pikir panjang.

Masrur terperanjat kaget. Amarahnya menyala.

"Hakim Agung telah gila. Bakar mereka berdua!" perintah Masrur. "Atau...tunggu!"

Maqrur ia jebloskan ke dalam penjara. Hakim Agung yang mencoba membela Maqrur pun, dibunuh Masrur dengan keji. Serbuk racun dituangkan pada minumannya. Sementara Maqrur digiring ke penjara, di istana Masrur pesta pora merayakan kemenangan. Masrur merasa sangat berkuasa dan hebat lalu bebas melakukan apa saja, termasuk mendholimi sesama manusia. Maka Maqrur yang lemah dan tak berdaya, tak bisa apa-apa selain pasrah dan menerima. Di lubuk hatinya yang mendua –antara bahagia dan sedih, Maqrur bertanya, "Ya Allah, apa jika aku dibakar itu artinya Engkau telah menerima taubatku? Apakah itu artinya Engkau telah memilihku untuk mati di jalanMu?"

Tapi takdir Allah berkata lain. Masrur mati ketika pesta pora di istana. Ia mati dalam keadaan sesat. Meregang nyawa ketika nikmat mereguk segelas khamr. Sedang Maqrur menunggu hukumannya di penjara dengan doa dan panjatan puji-puja. Memohon tanda pada Sang Maha Segala, isyarat hati agar mantap diri. Dan dijawablah doa Maqrur dengan sebuah mimpi di malam ketiga.

Ia menyaksikan dirinya berjalan di tempat yang rindang. Dikelilingi rimbun pepohonan dan buah-buahan. Di sampingnya anak-anak sungai mengalir tenang. Ia lihat juga, sebuah istana yang lebih megah dari istana Tuan Agung Masrur. Seorang perempuan bertanya mendayu-dayu, "Kapan kau akan berkunjung pada kami?" Siapa kamu?" Maqrur bertanya dan ia pun terbangun dari tidurnya. Ah...

Ketika Maqrur telah sakaratul maut, ia membayangkan dirinya dilalap api. Awalnya Maqrur takut. Ia ragu untuk masuk ke kobaran api. Maka datanglah sebuah wujud dari dalam api dan berkata, "Jangan takut! Maju saja. Kamu tidak akan merasakan sakit. Kamu tidak akan mati oleh api."

"Siapa kamu," tanya Maqrur tanpa membuka mulutnya.

"Aku datang untuk memberimu kabar kembira."

"Kabar gembira tentang apa? Bukankah kamu malaikat pencabut nyawa."

"Iya."

"Jadi aku akan mati dibakar api? Ini artinya Allah telah menerima taubatku?"

"Tidak. Kamu tidak akan mati dibakar api. Ajalmu akan berakhir sebelum kamu sampai di api itu."

"Aku ingin mati terbakar di jalanNya," ujar Maqrur sedih.

"Jangan bersedih. Selamat datang di alam lain."

Maqrur telah pergi ke alam sana. Kemudian datanglah malaikat penanya dalam kubur. Setelah itu masa penantian tiba. Ditiuplah terompet qiamat. Bumi luluh-lantak. Gunung-gunung beterbangan serupa kapas. Manusia berkumpul di padang mahsyar. Menunggu dan menunggu. Bumi terang benderang dengan turunnya Cahaya Maha Cahaya, Dialah Allah Sang Maha Segala.

Maqrur dan Masrur lantas menerima buku catatan amal masing-masing, --tentunya kita juga di sana kelak. Setelah itu datanglah hari pengadilan. Hari dimana tidak berguna lagi sesal dan kesedihan. Akhirnya, yang berbuat baik walau hanya seberat atom, diberikan ganjaran oleh Allah. Dan yang berbuat jahat juga menerima balasannya. Hingga masing-masing sadar, hendak pulang ke mana mereka setelah itu. Surga atau neraka?

Buku ini sungguh tepat sebagai pengingat bahwa hidup di dunia adalah fana dan sementara. Cerita kematian dan sederetan laku di alam akhirat digambarkan penulis dengan cukup apik. Peristiwa-peristiwa yang dilukiskan sungguh-sungguh bukan khayalan, melainkan sebuah kenyataan yang telah Allah jelaskan di dalam al-Quran. Kekurangan buku ini –atau jangan-jangan kelebihannya yang lain, adalah sedikitnya jumlah halaman karena kejadian-kejadian di akhirat digambarkan secara sangat sederhana. Barangkali ini adalah bentuk kehati-hatian penulis untuk tidak terjerumus pada imajinasi pribadi dan eksplorasi yang tak perlu, hingga menjerumuskan cerita hakiki ini menjadi cerita hasil karya sastra penebar khurafat semata. Wallahu A'lam.


No comments: